Bau busuk sampah tentu tidak sehat jika dihirup setiap hari. Demikian juga dengan fisik sampah yang tidak diharapkan tinggal berdampingan dengan warga. Namun, sebagian warga RW 017 dan masyarakat yang sehari-hari melintasi Jalan Muara Baru Raya harus merelakan pancaindera mereka bersinggungan dengan gunungan sampah.
Andi (47) melajukan angkot KWK U11 miliknya ke arah Muara Baru. Sebelum sampai tujuan akhir itu, ia harus melalui Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Muara Baru di Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Bukan hanya pemandangan dan aroma tak sedap, kemacetan juga harus ia hadapi ketika akan melalui lokasi TPS tersebut.
”Setiap truk pengangkut sampah datang ambil sampah sering bikin kemacetan jalan,” kata Andi. Bukan hanya truk, gerobak-gerobak milik tukang sampah juga kerap mempersempit laju kendaraan jalan. Sementara itu, angkot merahnya harus bersaing dengan kendaraan roda dua, becak, hingga kendaraan kontainer besar dari dan menuju pelabuhan.
Seingatnya, tempat sampah itu sudah ada belasan tahun. Menurut dia, pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto, tempat pembuangan sampah di daerah Penjaringan terletak di pinggir Waduk Pluit sebelum akhirnya dipindahkan ke lokasi tersebut. ”Yang saya heran, kenapa TPS bisa ada di tempat permukiman padat penduduk,” ujarnya.
Selasa (23/10/2019) siang, pemandangan sampah yang dikatakan menggunung sekitar tiga hari terakhir tidak lagi terlihat. Tumpukan sampah setinggi lebih kurang 2 meter menghiasi area TPS seluas 270 meter persegi. Tingginya sampah seperti berlomba menyaingi tinggi bangunan rumah di sekitarnya. Sebuah rumah berbahan kayu dan seng di belakang TPS bahkan tampak nyaris tenggelam di antara sampah.
Sebuah ekskavator sibuk mengeruk sampah dan membawanya ke truk sampah besar yang telah bertengger di sisi jalan. Beberapa petugas pekerja harian lepas (PHL) berseragam oranye wara-wiri di sekitar tumpukan sampah. Tak ketinggalan pria-pria berpakaian lusuh yang beberapa di antaranya sibuk menurunkan sampah dari gerobak. Di antara mereka juga ada yang sibuk memilah sampah.
Di antara kesibukan beraktivitas bersama sampah, ada warga yang memilih tak berurusan dengan sampah meski tinggal tepat di samping TPS. Gita Dea Kurnia (21), warga RT 016 RW 017, hidup dengan nyaman di rumah kecil berukuran 2 meter x 6 meter. Rumah itu juga menjadi tempat usaha salon dan laundry yang menghidupinya tiga tahun terakhir.
Aroma pewangi cucian laundry dan sejuknya penyejuk ruangan kontras dengan kondisi di luar rumah. Ia tidak pernah membiarkan pintu kaca berbingkai kayu di depan rumah terbuka lebar, bahkan tidak ada ruangan terbuka untuk menjemur pakaian. Ia hanya mengandalkan tiga kipas angin untuk mengeringkan pakaian milik pelanggan.
Dalam suasana itu, Gita, yang tinggal dengan kakak perempuan dan keponakan kecilnya, bisa bertahan meneruskan usaha ibunya yang baru meninggal 40 hari lalu. ”Bau sampah sampai ke dalam rumah cuma tercium sesekali. Itu biasanya waktu sampah yang sudah menumpuk sedang dikeruk. Kalau sudah begitu, saya pergi keluar dan menjauh dulu,” katanya.
Meski tidak mengancam, tinggal di dekat tempat sampah raksasa membuat Gita dan keluarganya harus menghadapi ketidaknyamanan karena kehadiran hewan kecil tak bertulang, kaki seribu. Kondisi itu membuat celah-celah tembok rumahnya harus ditambal dengan semen.
Gangguan lain terkait dengan sampah juga datang dari orang-orang yang beraktivitas di sekitar TPS. Para tukang sampah gerobak yang tidak acuh suka memarkirkan gerobak di depan rumahnya. Tak hanya itu, sopir truk sampah juga terkadang serampangan memarkirkan kendaraannya.
”Saya atau ibu saya dulu sering sekali mengomeli tukang sampah atau sopir truk supaya tidak parkir di depan rumah. Kalau begitu, kan, pelanggan usaha laundry saya jadi susah ke sini,” kata Gita bercerita sambil tertawa.
Pada suatu saat, ia juga pernah geram kepada orang yang menjadikan halaman depan rumahnya sebagai lapak barang bekas. Aktivitas menumpuk karung besar berisi botol plastik dan kardus bernilai jutaan rupiah menghalangi akses ke rumahnya. ”Sekitar empat bulan lalu ada yang demikian. Tapi, nggak lama kemudian dibubarkan satpol PP,” lanjutnya.
Gita tidak terlalu memikirkan bagaimana TPS yang bertetangga dengan rumahnya harus dipindahkan. Tetapi, dia akan sangat bersyukur jika bisa hidup jauh dari tempat sampah raksasa tersebut. (ERIKA KURNIA)