JAKARTA, KOMPAS- Polemik pengelolaan sampah antara Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang mesti mempertimbangkan kepentingan warga Kota Bekasi. Warga Bekasi yang hidup di sekitar TPST Bantargebang juga harus menanggung dampak lingkungan dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu yang bersebelahan dengan TPST Bantargebang.
Puput TD Putra, Direktur Eksekutif Koalisi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Senin (22/10/2018) mengatakan, TPA Sumur Batu juga menyebabkan dampak lingkungan yang tidak sedikit bagi warga sekitar. “Lingkungan yang terdampak di Bekasi kan bukan cuma oleh TPST Bantargebang, tapi (juga) oleh TPA Sumur Batu milik (Pemkot) Bekasi dan industri di sekitarannya,” sebut Puput.
Ia menambahkan, posisi TPA Sumur Batu yang bersebelahan dengan TPST Bantargebang, dengan model pengelolaan yang menurutnya relatif lebih tidak terjaga standar operasinya dibandingkan TPST Bantargebang, membuat warga berada dalam posisi relatif serba dirugikan.
Intervensi apa pun dari Pemprov DKI pada TPST Bantargebang, imbuh Puput, cenderung tidak akan berdampak banyak bagi peningkatan kualitas hidup warga sekitar menyusul model operasi TPA Sumur Batu yang relatif hanya menerima sampah dari wilayah Bekasi dan tidak memiliki kerjasama dengan Pemrov DKI Jakarta.
Puput menjelaskan, dampak paling utama yang mesti dihadapi warga adalah kualitas air yang relatif buruk. Secara khusus Puput menekankan bahwa model pengelolaan sistem pembuangan terbuka yang relatif masih terjadi dalam pengelolaan sampah di lokasi tersebut, sebetulnya tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Nomor 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Padahal, di pasal 44 UU tersebut disebutkan, “Pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.” (INK)