JAKARTA, KOMPAS - Meski ditargetkan harus rampung pada Desember 2018, pemberhentian aparatur sipil negara yang berstatus terpidana korupsi masih terkendala. Ada celah dalam manajemen ASN yang dimanfaatkan para ASN terpidana korupsi untuk menggugat ke pengadilan tata usaha negara agar pemberhentiannya dibatalkan.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana di Jakarta, Minggu (21/10/2018), membenarkan adanya gugatan-gugatan tersebut. Lambatnya surat keputusan pemberhentian dari pejabat pembina kepegawaian (PPK) menjadi salah satu pertimbangan PTUN mengabulkan gugatan para ASN terpidana korupsi. BKN bisa saja turun tangan membantu menangani gugatan itu apabila diminta. ”Kalau pemdanya minta bantuan, tentu akan dibantu,” kata Bima.
Surat keputusan bersama antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, dan BKN yang diterbitkan pada 13 September 2018 nyatanya juga kurang ampuh. Di sejumlah daerah, majelis hakim PTUN memenangkan penggugat.
Isi UU ASN dan peraturan turunannya tak sensitif terhadap kejahatan korupsi yang banyak dilakukan ASN. Revisi peraturan tersebut menjadi pekerjaan rumah pemerintah berikutnya.
Gugatan yang diajukan di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, dan Nunukan, Kalimantan Utara, misalnya. Berdasarkan putusan yang terdapat di situs Mahkamah Agung, majelis hakim mempertimbangkan Pasal 87 Ayat (4) Huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang mengatur tentang hukuman minimal 2 tahun penjara. Selain itu, hakim juga mempertimbangkan Pasal 266 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN yang menyebutkan SK pemberhentian dikeluarkan maksimal 21 hari setelah usulan pemberhentian dari sekretaris daerah diajukan.
Dari bukti yang disampaikan di persidangan, SK pemberhentian dari kepala daerah selaku PPK umumnya terbit lewat dari 21 hari. Di sisi lain, tafsir yang berbeda dari hakim mengenai Pasal 87 Ayat (4) UU ASN juga menimbulkan persoalan. Dari data BKN, 2.357 ASN yang terbukti korupsi melalui putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap masih sulit diberhentikan.
Pemahaman bersama
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah berharap semua pihak, termasuk lembaga peradilan, memiliki pemahaman yang sama mengenai pemberhentian ASN terpidana korupsi. Perkara korupsi yang masuk sebagai bagian dari kejahatan jabatan, lanjutnya, diatur dalam Pasal 87 Ayat (4) Huruf b UU ASN sehingga diperlukan kesamaan pandangan dalam hal ini.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng berpendapat senada. Ia juga berpandangan, isi UU ASN dan peraturan turunannya tak sensitif terhadap kejahatan korupsi yang banyak dilakukan ASN. Revisi peraturan tersebut menjadi pekerjaan rumah pemerintah berikutnya.
”Berapa pun nilai kerugian dan durasi pemidanaan, kalau korupsi, ya, tetap korupsi. Lalu, lamanya keluar SK pemberhentian hingga lebih dari 21 hari itu perlu ditelaah. Karena kadang cara ini digunakan untuk melindungi birokratnya. Jadi, pusat harus tahu tentang putusan ini. Sekda pun sebaiknya membuat tembusan ke pusat sehingga pemantauan lebih ketat. Karena kuncinya bukan soal gugat menggugat, tapi tentang pembinaan yang keras terhadap jajaran apabila sepakat kejahatan luar biasa seperti korupsi harus dihentikan,” kata Robert.