Saat Kapolda Maluku Berjanji di Puncak Gunung Emas
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·3 menit baca
Di bawah terik matahari, Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa mencapai puncak tertinggi Gunung Botak, lokasi tambang emas di Pulau Buru, Maluku, Rabu (17/10/2018) siang. Kedatangan Royke ini di tengah pesimisme publik terhadap masalah tambang liar yang belum dapat dituntaskan sejak mulai beroperasi tujuh tahun silam.
Dari titik itu tampak jelas kehancuran lingkungan akibat keserakahan para petambang liar. Gunung yang semula utuh telah terbelah menjadi cekungan dengan kedalaman lebih dari 200 meter. Tubuh gunung digali, dikikis, lalu dicemari dengan merkuri dan sianida selama 84 bulan.
Pohon kayu putih yang semula tumbuh damai di lokasi itu pun mati hingga ke akar-akarnya. Tak ada lagi jejak kayu putih. Padahal, cerita tentang kayu putih di Pulau Buru melegeda. Tidak hanya pala dan cengkeh, kayu putih juga menjadi komoditas yang diburu pada era kolonial.
Tampak juga ribuan lubang penggalian berdiameter hanya 1 meter, tetapi kedalamannya melampaui 50 meter. Di dalam lubang itu, petambang menyusuri urat emas. Banyak lubang itu berubah menjadi liang lahat bagi mereka jika terjadi longsor atau saling membunuh. Lebih dari 1.000 dilaporkan meninggal di Gunung Botak.
Royke melihat kehancuran dan keseraman itu. Di atas puncak itu pula, ia menyatakan tekad mengakhiri tembang liar. Ia berjanji, selama bertugas di Maluku, ia tidak akan membiarkan petambang liar kembali merambah areal seluas lebih kurang 250 hektar itu. Jumlah petambang di Gunung Botak pernah mencapai puluhan ribu orang. Terakhir pada pekan lalu tercatat lebih-kurang 8.000 petambang.
Kedatangan Royke untuk memastikan tidak ada lagi penambangan liar di lokasi itu. Seminggu sebelumnya, dia datang ke lokasi itu, tetapi tidak sempat mendaki ke puncak Gunung Botak. Royke merupakan pimpinan lembaga di tingkat provinsi yang pertama kali mencapai lokasi itu. ”Agar bisa mengambil keputusan, pemimpin harus datang ke sumber masalah. Harus melihat langsung,” ucap Royke.
Di puncak itu pula, Royke mengucapkan janji untuk mencegah terjadinya kembali penambangan liar. ”Aparat keamanan harus memastikan jangan sampai ada petambang liar yang masuk ke sini. Jangan ada musuh dalam selimut,” ujarnya. Musuh dalam selimut dimaksud adalah oknum aparat negara yang mengambil manfaat.
Royke menyampaikan hal itu di hadapan sejumlah perwira menengah Polri dan TNI yang ikut sama-sama mendaki ke Gunung Botak. Memang aparat keamanan menjadi penentu pelaksanaan janji Royke. Dari informasi yang dihimpun Kompas, sejumlah oknum aparat terlibat melanggengkan tambang liar tersebut. Mereka terlibat dan mengambil manfaat.
Bahkan, dalam satu bulan, setoran yang masuk ke oknum-oknum di sekitar Gunung Botak paling sedikit Rp 16 miliar. Ini baru terhitung untuk pengolahan dengan metode rendaman menggunakan sianida, belum termasuk yang menggunakan merkuri dan dompeng. Setoran diperkirakan puluhan miliar per bulan.
Janji Royke di Gunung Botak itu dicatat masyarakat dan akan terus diingat. Ini bukan hanya pertaruhan Royke pribadi, melainkan lebih dari itu, ini menjadi pertaruhan institusi.