Opsi ”Tanpa Kesepakatan” di Depan Mata
Pada Maret 2019, sesuai ketentuan Pasal 50 Traktat Lisabon, Inggris resmi keluar dari Uni Eropa. Opsi Brexit tanpa kesepakatan mendekati kenyataan karena tak ada terobosan dalam pertemuan puncak Uni Eropa.
Pertemuan para pemimpin negara anggota UE itu berlangsung pada Rabu (17/10/2018). Pertemuan dikatakan tidak membuahkan hasil karena tak ada terobosan kesepakatan terkait isu perbatasan Irlandia Utara. Padahal, seharusnya KTT UE tersebut menjadi pertemuan final, sebelum parlemen masing-masing negara melakukan ratifikasi kesepakatan Brexit.
Meskipun Inggris resmi berpisah pada 29 Maret 2019, parlemen membutuhkan waktu relatif panjang untuk mengkaji dan memberikan kata akhir terhadap kesepakatan itu.
Kenyataannya, semakin mendekati tenggat, perundingan Brexit malah makin jauh dari kesepakatan. Bahkan, kedua belah pihak telah mempersiapkan opsi terburuk, yaitu Inggris bercerai tanpa kesepakatan, atau ”no deal Brexit”.
Untuk menyelamatkan situasi, UE menawarkan perpanjangan masa transisi setelah Brexit dari dua tahun menjadi tiga tahun. Tujuannya, Inggris bisa menata perdagangannya dan memiliki waktu cukup untuk bekerja sama dengan UE dalam merumuskan solusi perbatasan di Irlandia Utara. Selama masa transisi, Inggris akan memperoleh semua benefit seperti anggota UE, tetapi tidak memiliki hak suara.
Kedua pihak mendukung tidak adanya hard border (penjagaan militer di perbatasan) antara Irlandia Utara yang merupakan bagian dari Inggris dan Republik Irlandia. Namun, sampai saat ini, tidak ditemukan solusi yang ”tetap menghormati kedaulatan Inggris ataupun integritas UE”. Usul UE sudah ditolak Inggris dan, sebaliknya, usul Inggris juga ditolak UE.
Lantas, muncul konsep ”backstop” atau alternatif penyokong. Intinya, kedua pihak sepakat tidak ada hard border setelah Brexit, tetapi seperti apa bentuknya akan terus dirumuskan. Sampai Maret lalu, Inggris sepakat, tetapi sikapnya kemudian berubah. Inggris menginginkan ”backstop” memiliki batas waktu, sementara UE ingin hal itu berlaku selamanya, sesuai dengan Kesepakatan Damai Jumat Agung pada 1971.
Faktor May
Berlarut-larutnya negosiasi Brexit antara lain dikarenakan posisi politik PM Theresa May yang lemah. Partai Konservatif tidak memiliki suara mayoritas di parlemen. Nasib pemerintahan tergantung dari dukungan partai koalisi, yaitu DUP dari Irlandia Utara, yang memiliki 10 kursi di parlemen.
Selain gagal menjadi mayoritas, Konservatif juga dilanda konflik internal antara kubu yang pro-Brexit dan kubu pro-UE. Kelompok pro-Brexit dikomandoi antara lain oleh mantan Menlu Boris Johnson serta mantan Menteri Brexit David Davis.
Untuk mengakomodasi tuntutan kedua kubu di partainya, May membuat proposal Brexit bertajuk Chequers. Namun, kubu pro-Brexit mengecam habis proposal itu karena menganggap Inggris masih ”dijajah” UE.
Kubu pro-UE juga menolaknya karena menganggap Chequers membuat Inggris makin jauh dari UE. Adapun oposisi (Partai Buruh) ikut menolak Chequers.
Namun, yang menohok, para pemimpin UE juga menolak Chequers karena dinilai pilih-pilih (cherry picking). UE kemudian meminta May membawa konsep baru dalam KTT pada 17 Oktober lalu.
Namun, perundingan intens antara tim UE dan tim Inggris selama sepekan sebelumnya tidak berhasil mencapai kesepakatan. Alhasil, May tidak membawa usulan baru dalam pertemuan puncak. Adapun UE sudah menyiapkan tawaran baru berupa perpanjangan masa transisi setelah Brexit.
Tanpa kesepakatan
Dengan atau tanpa kesepakatan, Brexit akan tetap terjadi. Inggris akan resmi keluar pada Maret 2019. Jika Inggris bercerai tanpa kesepakatan, semua hasil perundingan alot selama lebih dari 1,5 tahun tidak berlaku lagi. Di antaranya, Inggris tidak perlu membayar uang cerai sebesar 52 miliar dollar AS, tidak perlu menjamin hak-hak sekitar 3 juta warga UE yang bermukim di Inggris, dan memiliki kontrol penuh dalam hal perbatasan Irlandia Utara.
Hal itu tampak ”menguntungkan” Inggris. Akan tetapi, prediksi sejumlah ahli menunjukkan, Inggris akan menderita kerugian lebih besar jika bercerai tanpa kesepakatan. Alasannya, Inggris tidak memperoleh periode transisi selama dua-tiga tahun seperti yang sudah disepakati sebelumnya. Tanpa periode transisi, Inggris langsung terputus dari semua sistem ekonomi ataupun politik UE.
Harian The Independent menguraikan sejumlah kerugian yang akan dialami Inggris. Tanpa kesepakatan, hubungan dagang Inggris-UE akan diatur melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Saat ini, semua barang yang masuk antara UE dan Inggris tidak perlu dicek di perbatasan dan tidak dikenai tarif. Tidak perlu melalui rantai suplai yang kompleks.
Namun, dengan aturan WTO, Inggris dan UE harus menerapkan tarif dan pemeriksaan untuk masing-masing produk. Untuk sejumlah produk, tarif akan lebih mahal. Misalnya, tarif ekspor pertanian Inggris sekitar 30-40 persen, sedangkan untuk suku cadang otomotif sekitar 5 persen. Selama ini, Inggris menerapkan tarif serupa terhadap negara-negara di luar UE.
Perubahan yang akan langsung terlihat adalah di pelabuhan dan bandara. Sistem pengecekan yang sangat modern pun membutuhkan waktu 5-10 menit di Pelabuhan Dover, Inggris. Setelah Brexit, ribuan lori yang ingin memasuki pelabuhan Inggris perlu pemeriksaan lebih panjang sehingga membutuhkan ruang lebih luas lagi.
Hal serupa akan terjadi pada lori-lori Inggris yang mengantre masuk ke UE. Jika sebelumnya tanpa pemeriksaan, kini waktu yang dibutuhkan untuk pengisian dokumen akan berlipat empat sampai sembilan kali lipat. hal ini terjadi karena produk Inggris disamakan dengan produk non-negara UE.
Tak leluasa
Brexit tanpa kesepakatan akan membuat warga UE yang tinggal di Inggris dan warga Inggris yang tinggal di negara-negara UE secara teknis tidak memiliki status legal. Perancis dan Jerman menyiapkan undang-undang yang bersifat paralel, dalam arti semua aturan yang diterapkan terhadap warga Perancis oleh Inggris akan diterapkan pula oleh Perancis terhadap warga Inggris, termasuk bagi pebisnis. Kanselir Jerman Angela Merkel juga mempertimbangkan aturan serupa terhadap sekitar 100.000 warga Inggris di Jerman.
Bagi warga di kedua kubu, pergerakan menjadi tidak leluasa. Warga Inggris harus memiliki visa Schengen jika ingin masuk ke negara UE, harus memiliki SIM internasional jika ingin berkendara di wilayah Uni Eropa, dan ikut tes mengemudi kembali jika tinggal di negara UE karena SIM Inggris tidak berlaku.
Jika menelepon di wilayah UE, warga Inggris harus membayar ongkos roaming. Yang pasti, baik warga Inggris di UE maupun warga UE di Inggris akan kehilangan hak untuk bekerja.
Dengan atau tanpa kesepakatan, keputusan yang diambil Pemerintah Inggris harus mendapat persetujuan parlemen. Dengan kondisi sekarang, posisi PM May untuk meraih dukungan solid tidak mudah karena puluhan anggota parlemen Konservatif sudah menyatakan akan memberontak.
Jika keputusan akhir berujung dengan penolakan parlemen, posisi PM May terancam. Ada kemungkinan parlemen mengusulkan percepatan pemilu. Atau, siapa tahu rakyat Inggris berubah pikiran dan memutuskan untuk melakukan referendum Brexit kedua. (Myrna Ratna)