Kota Beradab Bergantung pada Ketegasan Pemerintah
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai ibu kota, Jakarta seharusnya dapat menjadi contoh penataan kota. Namun, ketegasan pemerintah dan kesadaran warga masih menjadi tantangan terbesar mewujudkan kota inklusif, aman, kuat, dan berkelanjutan.
Pengamat tata kota Nirwono Joga menyampaikan, sejumlah persoalan masih dihadapi pemerintah dan warga Jakarta, salah satunya adalah sampah. Setiap hari, warga Ibu Kota memproduksi 6.400-6.800 ton sampah. Mayoritas sampah (60,49 persen) berasal dari sampah rumah tangga.
”Jika satu atau dua hari saja sampah tersebut tidak diangkut, Jakarta akan dipenuhi sampah. Sebenarnya, semua sumber masalah ada di kita. Sebab, belum ada kesadaran memilah sampah di setiap rumah tangga,” papar Nirwono di Jakarta, Sabtu (20/10/2018).
Jika satu atau dua hari saja sampah tersebut tidak diangkut, Jakarta akan dipenuhi sampah. Sebenarnya, semua sumber masalah ada di kita. Sebab, belum ada kesadaran memilah sampah di setiap rumah tangga.
Hal ini disampaikan dalam acara Social Good Summit 2018 yang diadakan United Nations Development Programme bertemakan ”Our City: Live/Work/Play”. Acara ini merupakan bagian dari upaya mencapai tujuan ke-11, yaitu ”kota dan komunitas berkelanjutan” dari agenda besar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada 2030.
Terkait sampah plastik, Kepala Seksi Layanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tedi Santo Sofyan menyebutkan, kantong plastik dapat dimanfaatkan untuk perkerasan aspal. Ini mengingat sebesar 62 persen sampah laut yang ditemukan berupa kantong plastik.
”Secara total, kami sudah membangun 25 kilometer jalan aspal di tujuh daerah dengan menggunakan campuran kantong plastik. Dalam 1 ton campuran aspal, dibutuhkan sekitar 3,5 kilogram plastik. Nantinya, kami ingin menggandeng masyarakat untuk mengumpulkan kantong plastik guna membangun jalan,” tutur Tedi.
Kami sudah membangun 25 kilometer jalan aspal di tujuh daerah dengan menggunakan campuran kantong plastik. Dalam 1 ton campuran aspal, dibutuhkan sekitar 3,5 kilogram plastik.
Menurut Nirwono, permasalahan lain adalah banjir. Masyarakat belum peduli pada lingkungan, termasuk sungai. Masyarakat masih memandang sungai sebagai tempat membuang hajat dan limbah. Belum lagi soal kesadaran lingkungan bahwa bantaran sungai tidak boleh ditinggali.
”Memasuki musim hujan, jangan heran jika dua atau tiga bulan ke depan banjir akan terjadi kembali. Sebab, selama satu tahun ini tidak ada lagi penataan sungai. Jadi, bisa dipastikan, ketika hujan turun, sungai akan meluap dan permukiman langganan banjir akan banjir lagi,” tutur Nirwono.
Sayangnya, ketika terjadi banjir, orang akan fokus dan menyalahkan satu sama lain. Namun, setelah itu, orang akan kembali lupa persoalan banjir. Maka, tantangan terbesar adalah perlunya ketegasan pemerintah dan mengubah budaya masyarakat untuk peduli pada lingkungan.
Memasuki musim hujan, jangan heran jika dua atau tiga bulan ke depan banjir akan terjadi kembali. Sebab, selama satu tahun ini tidak ada lagi penataan sungai.
”Kalau memang serius, yang harus dilakukan adalah merelokasi warga yang tinggal di bantaran sungai. Selain itu, penataan industri yang juga berada di sekitar bantaran sungai harus dipindahkan ke kawasan industri. Jika demikian, kita benar-benar memutus mata rantai orang mencemari lingkungan. Baru setelah itu, sungai dikelola,” kata Nirwono.
”Ini semua adalah masalah kita bersama. Memang hal yang paling terbatas di kota adalah ’ruang’. Maka, kita harus berbagi ruang dan sadar dengan dampak limbah yang kita buang,” ujar Senior Urban Development Specialist Mulya Amri.
Kota berkelanjutan
Nirwono menjelaskan, ada tiga indikator yang bisa dilakukan di semua kota di Indonesia jika ingin mewujudkan kota dan komunitas yang berkelanjutan. Pertama, pembangunan yang mampu meningkatkan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat.
”Ada perbaikan kampung kumuh, menghentikan penggusuran, dan memindahkan warga ke tempat yang lebih layak. Relokasi dalam hal penataan kota itu tidak salah selama diberikan solusi yang jelas mengenai kepastian hidupnya di tempat baru,” ujar Nirwono.
Kedua, meningkatkan sosial budaya. Masyarakat harus semakin terdidik. Jika ada program kota cerdas, harusnya diikuti dengan edukasi. Tidak sekadar teknologi dengan partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan masalah kota.
”Indikator ketiga, ketersediaan lingkungan. Meningkatnya ruang terbuka hijau dan masyarakat lebih peduli pada lingkungan. Misalnya, dalam rangka mengurangi emisi karbon, masyarakat beralih ke transportasi massal atau berjalan kaki, bisa juga sepedaan,” ucap Nirwono.
Kota inklusif dan aman
Mencapai kota yang beradab juga berarti menciptakan kota inklusif yang ramah bagi siapa pun, termasuk infrastrukturnya. VP Marketing Go-Life Yuanita Agata mengatakan, melalui aplikasinya, Go-Jek dapat membuat including the excluded.
”Layanan aplikasi ini membuat orang-orang dengan keterbatasan fisik dapat tetap menjalankan perannya dan meningkatkan perekonomian keluarga. Bahwa keterbatasan fisik tidak menjadi keterbatasan bagi siapa pun untuk berkarya,” kata Yuanita.
Atika Pratika dari Komunitas Wonder menyampaikan, sepanjang 2017, berdasarkan data Komisi Nasional Perempuan, terjadi 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan, perlindungan bagi perempuan dan anak memang dibutuhkan.
”Komunitas Wonder berusaha melindungi perempuan dan anak melalui aplikasi pengaduan. Adapun layanan konsultasi agar siapa pun yang mengalami kekerasan memiliki tempat pengaduan,” ujar Atika. (SHARON PATRICIA)