Kebangkitan Etnis Tionghoa Berperan dalam Pergerakan Nasional
JAKARTA, KOMPAS — Kebangkitan nasional Tionghoa menjadi bentuk perlawanan terhadap politik identitas kolonial pada awal abad ke-20. Kebangkitan tersebut tak ayal melahirkan gagasan nasionalisme Indonesia, yang mengambil momentumnya melalui Sumpah Pemuda 1928.
Kebangkitan masyarakat etnis Tionghoa di masa kolonial antara lain bisa dilacak dari kehadiran pers Tionghoa. Salah satunya, surat kabar Bintang Soerabaja yang terbit hingga awal abad ke-20. Media tersebut memopulerkan bahasa Melayu, mendiskusikan perkembangan lingkungan kota, dan menyuarakan perkembangan pergerakan antikolonial.
”Kesadaran dan cita-cita memiliki kemajuan tergambar di komunitas Tionghoa Surabaya. Politik warga di sana sudah matang saat itu,” kata sejarawan dari Universitas Nasional, Andi Achdian, dalam diskusi bertajuk ”Keindonesiaan dan Ketionghoaan: Kasus Sumpah Pemuda” di Jakarta, Kamis (18/10/2018) malam.
Kebangkitan tersebut muncul pada etnis Tionghoa, yang berupaya menyederajatkan diri dengan kaum kelas satu, yaitu bangsa Eropa. Sebagai solusi, sebagian dari mereka pergi ke luar negeri untuk menimba ilmu, seperti di Singapura atau Shanghai. Gelombang tersebut memunculkan ide kemajuan dan kebangkitan nasional Tionghoa pada kaum terpelajar yang kembali ke Indonesia.
Semangat yang dibawa kaum terpelajar Tionghoa ternyata juga berpengaruh bagi sejumlah kalangan terpelajar pribumi di kota itu. ”Pers menjadi sarana penting bagi kalangan terpelajar di kota itu terlibat dalam perdebatan intelektual dan turut membahas masalah kemajuan bagi kalangan non-Eropa di Hindia Belanda,” kata Andi.
Di Batavia, kebangkitan masyarakat Tionghoa pada masa pergerakan nasional diawali dengan pendirian organisasi modern pertama, bernama Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada 1900. ”Orang-orang Tionghoa yang menamakan diri THHK ini sadar perlunya membuat sekolah modern. Mereka pun mengambil kurikulum dari Jepang, yang tengah berpengaruh di dunia saat itu,” kata sejarawan Didi Kwartanada.
Tak hanya melakukan pembangunan di bidang pendidikan, organisasi tersebut juga berhasil menyatukan kelompok-kelompok Tionghoa yang berasal dari latar belakang berbeda. Kesuksesan mereka lantas mengilhami kaum intelektual dari golongan Arab dan Bumiputera.
THHK berpengaruh pada kemajuan komunitas Arab. Sekolah yang didirikan THHK memicu komunitas Hadrami mendirikan perkumpulan modern pertama yang disebut Jamiat Khair pada 1905.
Kesuksesan THHK menuai pujian dari Bumiputera. Abdul Rivai, kalangan terpelajar Bumiputera berpengaruh, berulang kali memuji persatuan golongan Tionghoa tersebut dalam Bintang Hindia, majalah bergambar pertama Indonesia. Kelahiran organisasi modern Bumiputera pertama, Boedi Oetomo (BO), pada 1908 juga dihubungkan dengan THHK.
Dokter Wahidin Soedirohoesodo, motivator berdirinya BO dan redaktur koran Retnodhoemillah, banyak memuat tulisan-tulisan tentang reformasi di Tiongkok. Ia juga gencar mengajak Bumiputera mengikuti orang Tionghoa dan Arab di Hindia Belanda.
Meski demikian, Didi menilai gerakan-gerakan tersebut masih menjurus pada etnonasionalisme, yaitu paham kebangsaan yang didasarkan pada sentimen tertentu daripada nasionalisme. ”Pada dekade pertama abad 20 itu, mereka menorehkan haluan etnonasionalisme dari berbagai kelompok etnik,” ujarnya.
Organisasi yang dinilai mampu menerapkan nasionalisme adalah Indische Partij (1912-1913), yang didirikan EFE Douwes Dekker, dr Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat. Partai tersebut adalah partai inklusif pertama Indonesia karena diikuti 5.000 orang Eropa, 1.500 orang Bumiputera, tak ketinggalan 500 orang Tionghoa.
Meski secara kuantitas anggota Tionghoa hanya sekitar 7 persen dari keseluruhan anggota, mereka dapat secara aktif menjadi pengurus organisasi. ”Kehadiran partai tersebut adalah sebuah langkah revolusioner,” ujar Didi. Sayangnya, organisasi tersebut tidak bertahan lama karena Pemerintah Belanda merasa terancam dengan keberadaan mereka.
Sumpah Pemuda
Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di mana Sumpah Pemuda dicetuskan menjadi momentum meleburnya etnonasionalis. Hal tersebut menjadi bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memisahkan masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan. Demikian juga dengan dampak yang ditinggalkan pada pergerakan politik tiap kelompok etnis.
Dalam Sumpah Pemuda, kaum Tionghoa juga memiliki peran yang cukup penting. Didi menyebutkan, setidaknya ada tiga pihak yang terlibat aktif dalam Sumpah Pemuda.
Pertama adalah Kwee Thiam Hong alias Daud Budiman. Hadir sebagai anggota Jong Sumatranen Bond kelahiran Palembang dan pemuda bidang kepanduan, ia mengajak tiga rekannya, Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie.
Kedua, seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong yang menyewakan rumah tempat Sumpah Pemuda dikumandangkan kepada para pemuda. Rumah itu kini menjadi Gedung Sumpah Pemuda yang berlokasi di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat.
Ketiga, pihak-pihak yang membantu menyebarluaskan lagu kebangsaan Indonesia ciptaan Wage Rudolf Soepratman. Tahun 1926-1927 atau sebelum Sumpah Pemuda direncanakan, Soepratman telah membuat lagu ”Indonesia Raya”.
Setelah dikumandangkan pada 1928, seorang pengusaha rekaman Yo Kin Tjan tertarik membeli hak cipta dan merekamnya dalam piringan hitam seperti yang diinginkan Soepratman. Setelah lagu yang berjudul awal ”Indonesia” tersebut dikumandangkan, surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po, berinisiatif memuat notasi lagu ”Indonesia Raya” pada terbitan 10 November 1928.
Tak hanya itu, Sin Po juga menerbitkannya dalam bentuk pamflet yang dijual 20 sen per lembar. Edisi pertama dicetak 4.000 lembar dan semua habis terjual. Inisiatif tersebut sangat berisiko karena dilarang Pemerintah Belanda.
”Dari situ kita melihat bahwa ada kaitan erat antara masyarakat etnis Tionghoa dan momen historis Sumpah Pemuda,” simpul Didi. Etnis Tionghoa kemudian juga turut andil dalam proses kemerdekaan Indonesia. (ERIKA KURNIA)