Potensi Besar Jangan Diabaikan
Timnas balap sepeda Paralimpiade menyumbang medali yang cukup banyak bagi kontingen Indonesia di Asian Para Games 2018. Prestasi ini bisa ditingkatkan jika ada pembinaan serius.
Timnas balap sepeda meraih 1 medali emas, 7 perak, dan 8 medali perunggu dalam Asian Para Games 2018. Para pebalap sepeda tersebut perlu dibina lebih serius agar bisa tampil di Paralimpiade Tokyo 2020 dan di Paris 2024.
”Kalau disiapkan dari sekarang dan kita lebih proaktif lagi mendatangi sumber-sumber atlet Para Games, saya yakin kita bisa tampil di Paralimpiade Tokyo ataupun sesudahnya. Ini sudah kita buktikan di Asian Para Games ini. Dengan pelatnas hanya 10 bulan, kita mendapatkan hasil yang jauh melampaui harapan kita,” kata Puspita Mustika Adya, pelatih kepala tim balap sepeda Paralimpiade.
Para atlet Indonesia pun bersemangat untuk tampil di Paralimpiade. ”Saya dan teman- teman yang lain tentu sangat ingin pelatnas kami dilanjutkan karena kami sangat ingin bertanding di Paralimpiade. Mudah-mudahan para pelatih juga bisa menyiapkan program latihan ataupun try out untuk menuju ke sana,” kata Muhammad Fadli Imammudin, salah seorang pebalap andalan Indonesia.
Dengan beranggotakan 14 atlet di Asian Para Games 2018, tim balap sepeda Indonesia terbilang masih kekurangan atlet. Idealnya, minimal ada dua
pebalap di setiap kategori disabilitasnya sehingga peluang meraih medali lebih besar lagi.
Untuk menambah jumlah atlet, bisa melihat potensi yang ada di ajang Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas). Atlet potensial juga bisa dicari dari cabang lain. Contohnya Sri Sugianti yang semula atlet atletik yang lantas direkrut untuk menjadi pebalap sepeda Paralimpiade.
Selain menambah jumlah atlet, diperlukan pula dukungan sport science atau pengetahuan keolahragaan dalam pembinaan di pelatnas Paralimpiade. ”Sport science itu penting sehingga pelatihan terarah, otot-otot yang disasar jelas sehingga memperkecil juga peluang mereka cedera,” kata pelatih kepala timnas balap sepeda PB ISSI, Dadang Haries Purnomo.
Tim psikologi
Tim psikologi untuk menyiapkan mental para atlet disabilitas juga sangat penting. Hal itu terlihat pada Asian Para Games lalu saat beberapa tim psikologi terus mendampingi para atlet Indonesia.
”Melatih mereka itu butuh sentuhan khusus dan tidak bisa sembarangan. Saya tidak bisa melatih mereka dengan keras karena mereka malah bisa mogok. Saya harus hati-hati sekali melihat bagaimana mood mereka dari hari ke hari. Mereka umumnya lebih sensitif sehingga terkadang secara fisik mereka sudah siap, tetapi secara mental belum” kata Puspita.
Bagian lain yang tak kalah penting, pengadaan alat-alat latihan dan sepeda untuk bertanding yang mumpuni. Pada Asian Para Games 2018 lalu, misalnya, terlihat beberapa atlet Indonesia kalah jauh dari rival-rivalnya karena peralatan yang mereka gunakan memang ”kalah kelas”. Pengadaan alat pertandingan
itu harus disiapkan lebih awal lagi, jangan sampai sepeda baru datang hanya sehari sebelum Asian Para Games 2018 digelar.
”Atlet butuh waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan sepeda karena masing-masing punya kebutuhan berbeda-beda sehingga penyiapannya pun butuh waktu. Mereka yang disabilitasnya di kaki berbeda kebutuhannya dengan mereka yang disabilitasnya di tangan,” kata Dadang.
Jika tiga hal itu saja bisa disiapkan lebih baik, prestasi pebalap sepeda Indonesia pasti akan lebih bersinar lagi. Apalagi, mereka sudah memiliki modal penting sebagai atlet, yaitu semangat tinggi, tidak gampang menyerah, dan berorientasi pada kesuksesan.
Jika beberapa atlet Korea Selatan dan Jepang saja masih bisa bersinar pada usia mendekati 50 tahun, para atlet Paralimpiade Indonesia yang rata-rata masih berusia muda pun mempunyai potensi rentang karier yang panjang. Itu artinya, jika saja sekarang kita membina atlet-atlet pada kisaran usia 20-25 tahun, pembinaan itu bisa membuahkan hasil setidaknya hingga 20 tahun ke depan.
Oleh karena itu, sekaranglah saatnya Indonesia menyiapkan lebih serius pembinaan para atlet disabilitasnya.
(Rakaryan Sukarjaputra)