Sekretaris Jenderal Organisasi Penyedia Pusat Data Indonesia (Idpro) Teddy Sukardi (kanan) menyampaikan pandangan bertalian dengan kebijakan pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik di Jakarta, Kamis (18/10/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Penyedia Pusat Data Indonesia (Idpro) mengharapkan pemerintah tetap mewajibkan pusat data berada di Indonesia. Mengizinkan penggunaan pusat data di luar negeri dikhawatirkan menyebabkan berbagai kerugian, baik dari aspek bisnis maupun keamanan data.
Pemerintah saat ini tengah memfinalisasi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Salah satu pasal yang direvisi, yaitu Pasal 17, menyebutkan bahwa penempatan pusat data harus di Indonesia. Dalam rencana revisi tidak semua pusat data harus berada di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Idpro Teddy Sukardi mengatakan, peraturan yang menyebutkan penempatan pusat data harus di dalam negeri tidak perlu direvisi. Sejak adanya peraturan itu, keamanan data pribadi masyarakat terlindungi dan investasi pusat data di Indonesia berkembang pesat.
”Kami berharap revisi tentang pusat data lebih hati-hati. Pertimbangannya harus lebih matang. Jangan sampai menimbulkan celah yang bisa menghilangkan momentum pertumbuhan investasi pusat data dan perlindungan data-data pribadi masyarakat,” kata Teddy, di Jakarta, Kamis (18/10/2018).
Menurut Teddy, penempatan pusat data di luar negeri sangat berisiko. Data pengguna berpotensi disalahgunakan karena sukar diawasi. Jika berada di Indonesia, keberadaan data lebih aman.
”Revisi menyebabkan data yang semestinya dilindungi negara punya celah dimanfaatkan orang lain,” katanya.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS
Sekretaris Jenderal Idpro Teddy Sukardi
Penasihat Idpro, Richard Kartawijaya, menilai, upaya revisi terhadap pasal itu mengancam kedaulatan data Indonesia. Celah untuk menempatkan data di luar negeri membuat data bisa dibongkar dan dimanfaatkan otoritas setempat.
”Sebenarnya regulasi yang diterapkan pemerintah (pusat data harus di dalam negeri) juga sudah dilakukan negara lain, seperti Singapura, Jepang, Jerman, dan India. Sekarang kenapa kita ingin mengubah?” ujarnya.
Richard menambahkan, revisi peraturan juga mengancam pertumbuhan investasi pusat data di Indonesia. Investasi pusat data di dalam negeri tumbuh pesat seiring semakin pesatnya pertumbuhan industri digital.
Sejumlah investor luar negeri bahkan mulai tertarik menggunakan pusat data di Indonesia. Namun, jika pusat data tidak lagi diwajibkan ada di dalam negeri, investor tersebut bisa berpikir ulang untuk menggunakan pusat data di Indonesia.
Pelaku Data Center NTT Nexcenter, Alvin Siagian, mengatakan, upaya revisi membuat para pengusaha pusat data risau. Pengusaha telah berinvestasi besar-besaran untuk membangun pusat data di Indonesia.
Diizinkannya penempatan pusat data di luar negeri membuat bisnis mereka akan merosot. Hal itu juga akan berdampak terhadap ketersediaan lapangan kerja. ”Perubahan itu sangat berdampak bagi kita semua,” ujar Alvin.
Dihubungi secara terpisah, Ferdinandus Setu dari Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika mengemukakan, dalam revisi, pemerintah menggolongkan tiga jenis data, yaitu strategis, berisiko sedang, dan berisiko rendah. Data strategis tetap wajib berada di Indonesia. ”Dulu kita menggeneralisasinya semuanya,” kata Ferdinandus.
Terkait dengan bisnis pusat data dalam negeri yang terancam, Ferdinandus mengatakan, revisi peraturan ini justru meningkatkan daya saing perusahaan dalam negeri sehingga pelayanan semakin baik.
”Kalau perusahaan pusat data di Indonesia berkualitas bagus, standar keamanannya bagus, pasti akan dapat pasar dari perusahaan luar negeri yang mau menempatkan pusat datanya di Indonesia,” ujarnya. (YOLA SASTRA)