Warga Kampung Kunir Ingin Hunian Sementara Ditambah
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga Kampung Kunir, Pinangsia, Tamansari, Jakarta Barat, berharap fasilitas di shelter atau hunian sementara segera ditambah. Fasilitas air bersih dan listrik merupakan dua kebutuhan dasar yang hingga kini belum tersedia secara optimal bagi warga.
Koordinator Wilayah Tim Kerja Community Action Plan (CAP) Kampung Kunir Marsha Chairudin mengatakan, PT PAM Jaya telah menyetujui permintaan warga untuk segera memasang saluran pipa air bersih. ”Mereka berjanji akan menyelesaikannya dalam jangka dua minggu ke depan,” kata Marsha, Selasa (16/10.2018).
Sebelumnya, sejumlah warga Kampung Kunir mengeluhkan air sumur di kompleks hunian sementara itu terasa asin. Karena air sumur tak lagi bisa digunakan, warga kini bergantung sepenuhnya pada saluran air sementara yang disambung pada instalasi pipa milik PT PAM Jaya yang sudah ada sebelumnya.
”Kami harus menggunakan pompa agar air dari saluran sementara itu bisa dialirkan ke shelter,” ucap Marsha. Di hunian sementara Kampung Kunir, ada 33 keluarga atau 105 jiwa yang bergantung pada ketersediaan air bersih dari saluran sementara itu.
Hunian sementara Kampung Kunir dibagi menjadi tiga blok, yaitu Blok A, B, dan C. Di kompleks yang luasnya sekitar tiga lapangan basket itu terdapat 33 petak hunian yang masing-masing berukuran 3 meter x 6 meter.
Rangka dan atap hunian sementara itu menggunakan konstruksi baja. Dari luar bisa terlihat jelas bentuk bangunannya yang menyerupai rumah susun. Setiap blok terdiri atas 11 rumah. Blok A dan B berdiri berhadapan dan Blok C dibangun di atas Blok B.
Sudi (52), warga yang tinggal di Blok C, mengatakan, 33 petak hunian sementara itu terkesan dikerjakan secara terburu-buru. Ia mencontohkan, langit-langit rumah dibiarkan bolong dan dinding pemisah mudah meliuk jika dibuat bersandar.
”Kalau siang panas, kalau malam banyak nyamuk,” ujar Sudi. Saat pertama kali menempati hunian sementara itu, ia harus merogoh kocek lebih kurang Rp 600.000 untuk membeli tripleks sebagai dinding pemisah ruangan dan kelambu agar terlindung dari gigitan nyamuk.
Senada dengan Sudi, Wilastri yang tinggal di Blok A juga mengeluhkan hal serupa. ”Banyak juga petak rumah yang lantainya bolong atau tidak rata sehingga harus disemen ulang,” kata Wilastri.
Menurut Marsha, selain beberapa hal tersebut, masalah listrik merupakan yang paling sering dikeluhkan warga. PT Hardja Moekti Consultant (HCM) yang bertindak sebagai konsultan program CAP hanya menyediakan empat meteran listrik bagi warga.
Alhasil, untuk membayar tagihan listrik diterapkan sistem iuran. Hal itu membuat warga kerap berkonflik karena saling tuduh siapa menggunakan listrik paling banyak.
”Enggak masuk akal, masa sebulan harus bayar Rp 400.000,” kata Sudi. Seperti para warga yang lain, ia meminta pihak konsultan mengusahakan pemasangan meteran listrik pada setiap petak rumah agar warga tak saling konflik akibat tak setuju besaran iuran listrik yang harus dibayarkan.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Kelurahan Pinangsia Vicky Pratka Setya menyatakan, warga Kampung Kunir berada dalam posisi sulit memilih antara bersabar pada kondisi hunian sementara yang kurang layak dan mengeluarkan uang guna merenovasi bangunan yang suatu saat pasti harus ditinggalkan.
Meskipun berkeluh kesah karena sejumlah fasilitas tak berfungsi optimal, ketiga warga yang diwawancarai tersebut sepakat mengapresiasi usaha pemerintah menciptakan hunian sementara bagi mereka. Warga Kampung Kunir berharap janji pemerintah memberikan hunian permanen melalui program CAP akan benar-benar terlaksana. (PANDU WIYOGA)