JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah perusahaan yang telah eksis sebelum era disrupsi digital didorong untuk menemukan kelemahan dalam model bisnis mereka. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membentuk terobosan-terobosan di bidang tata kelola perusahaan.
Dalam diskusi bertajuk "Terpaan Gelombang Disruption dan Peluang Indonesia Memenangkan Persaingan Global", Selasa (16/10/2018) malam di Jakarta, CEO Rabobank International Indonesia Jos Luhukay mengartikan disrupsi sebagai gangguan atau masalah yang menginterupsi sebuah aktivitas atau proses. Dalam dunia bisnis, ini didorong oleh keberadaan perusahaan-perusahaan yang berada di tingkat kewirausahaan (entrepreneurialstate).
“Disrupsi bisa terjadi secara lambat dan tidak eksplosif. Proses ini biasanya didorong oleh perusahaan yang berada di entrepreneurial state karena mereka bisa mengidentifikasi kelemahan model bisnis perusahaan yang telah mapan,” kata Jos.
Ia menambahkan, disrupsi dalam dunia bisnis telah terjadi selama 1970-an hingga awal tahun 2000-an. Ini dimulai, misalnya, dengan mengurangi transaksi keuangan dengan menyediakan layanan perbankan daring pada 1980-an. Reksa dana untuk memperluas keuangan inklusif juga diciptakan pada era tersebut.
Karena itu, Jos menekankan, disrupsi tidak selalu hanya dapat diasosiasikan dengan milenial, tetapi juga perusahaan-perusahaan yang telah mapan sebelum berbagai perusahaan rintisan (startup) terbentuk. “Strategi untuk ikut mendisrupsi adalah memotong rantai pasok yang panjang, seperti ride sharing,” ujar Jos.
Senada dengan Jos, Director Quadrant Business and Communications Ronny Mustamu mengatakan, disrupsi dapat mengancam model bisnis. Penurunan performa perusahaan dapat disebabkan kegagalan memenuhi keinginan pasar sehingga pemain lain mengambil alih pasar.
“Menurut Adrian Slywotzky dalam Value Migration (1996), aliran ekonomi dan nilai pemegang saham berpindah dari model bisnis yang sudah tak sesuai kepada yang baru. Perusahaan harus mulai memikirkan bagaimana memberikan barang dan jasa secara lebih baik, cepat, dan murah kepada konsumen,” papar Ronny.
Menurut Ronny, disrupsi perlu dilembagakan dalam perusahaan agar para karyawan memiliki insentif untuk membuat berbagai terobosan. Tujuannya untuk membuat kerja perusahaan lebih efektif dan efisien.
Transformasi
Sementara itu, Chief Financial Officer Telkomtelstra Ernest Hutagalung mengatakan, disrupsi merupakan peluang bagi perusahaan untuk bertransformasi. Terdapat dua faktor penting yang perlu diperhatikan yaitu penerapan teknologi digital dan mengubah pola pikir anggota organisasi. Kolaborasi antara keduanya dibutuhkan untuk membangun keberhasilan.
“Jika teknologi tersedia, tapi cara berpikir orang tidak berubah serta enggan untuk adaptasi. Kemungkinan kegagalan sering mengarah ke sana,” ujar Ernest.
Menurut Ernest, setidaknya dalam lima tahun ke depan populasi milenial akan semakin mendominasi, sehingga mereka akan menjadi penentu bisnis ke depan. Oleh sebab itu, perusahaan perlu mengubah cara kerja untuk menerapkan teknologi.
Perusahaannya telah menerapkan keseimbangan kehidupan dan kerja (work-life balance) sejak 2016. Dalam organisasi itu, jam kerja karyawan dibuat lebih fleksibel dan dapat bekerja dimanapun. Ernest melihat perubahan positif setelah berlakunya metode itu.
“Mereka lebih kreatif dan produktif, kalau happy tentu menjadi semakin betah untuk bekerja,” katanya.
Konsultan Solidiance Indonesia Gervasius Samosir mengatakan, perusahaan yang didirikan generasi X (lahir 1960—1981) harus dapat berkolaborasi dengan generasi milenial. Sebab, generasi milenial memiliki pola pikir dan kultur yang berbeda.
“Perusahaan yang didirikan generasi X harus dapat mengadopsi pola pikir ini. Contohnya, salah satu klien kami, BTPN, meluncurkan produk digital perbankan Jenius dengan membuat tim tersendiri. Mereka merekrut orang-orang muda yang passionate dengan inovasi. Jadi, disrupsi di internal perusahaan dapat dipicu secara top-down dengan arahan CEO,” kata Gervasius. (MELATI MEWANGI/KRISTIAN OKA PRASETYADI)