Diuji Coba Tahun 2019, LRT Cibubur-Cawang Sudah 70,55 Persen
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Perkembangan pengerjaan proyek pembangunan kereta ringan atau LRT di lintasan Cibubur - Cawang hingga Oktober 2018 mencapai progres 70,55 persen. Progres itu merupakan yang paling cepat dibanding lintasan Cawang - Dukuh Atas sebesar 36 persen dan lintasan Cawang - Bekasi Timur sebesar 54 persen.
Kepala Divisi Engineering & Railway System PT Adhi Karya Isman Widodo mengatakan progres lintasan Cibubur - Cawang mampu mencapai progres tercepat lantaran pengerjaannya lebih dulu dimulai. "Lintasan Cibubur - Cawang ini relatif mulus, tidak ada kendala yang begitu besar," ujar Isman Rabu (17/10/2018).
Menurut Isman, tantangan yang saat ini sedang dihadapi PT Adhi Karya untuk lintasan ini adalah lebih hal-hal teknis. Misalnya bagaimana pengerjaan struktur baja di stasiun, pelaksanaan long span dengan balanched cantilever, pelaksanaan pekerjaan trackwork yang efektif dan lain-lain.
Isman berharap percepatan pembangunan segera dilakukan. Pasalnya, pada Juni 2019 mendatang lintasan itu rencananya akan diuji coba. Saat ini ada dua bagian lintasan yang belum tersambung di long span JORR dan long span Cililitan. Sementara itu, rencananya pemerintah akan menguji coba lintasan pada Juni 2009 mendatang.
Warga Kampung Makasar, Jakarta Timur menyambut baik proyek pembuatan LRT. Mereka berharap dengan ada pembangunan LRT akses transportasi di Jakarta dan sekitarnya menjadi semakin beragam. "Ya kita kan bangga juga kalau negara kita bisa maju kaya negara lain," ujar Karmanah (56)
Warga RT 9 RW 6 Kelurahan Makasar, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
Karmanah mengatakan ia adalah salah satu yang mendapatkan keuntungan dari pembangunan LRT ini. Sejak ada proyek pembangunan, ia mulai berjualan makanan dan minuman di dekat lokasi proyek. "Lumayan keuntungannya. Saya yang biasanya menganggur jadi bisa bantu-bantu cari tambahan pemasukan," imbuhnya.
Rumah Karmanah berjarak sekitar 50 meter dari proyek. Baginya, mendengar suara alat berat dan mesin-mesin sudah menjadi hal yang biasa. "Awalnya sih masih terganggu, tapi lama-lama biasa. Selain itu kita juga pernah dapat uang berisik, jadi setimpal lah," lanjut Karmanah.
Sebagian warga yang tinggal tak jauh dari lokasi pembangunan menurut Karmanah mendapatkan uang kompensasi. Besaran uang kompensasi itu adalah Rp. 500.000 per kepala keluarga.
Risiko relokasi
Berdasarkan pantauan Kompas pada Rabu siang, beberapa warung masih berdiri di kolong lintasan. Salah satunya adalah warung milik Uun (60), warga Kampung Makasar, Jakarta Timur. Jarak antara ujung atap warung Uun dengan lintasan sekitar 3 meter.
Di samping warung Uun ada empat bangunan lain yang juga tak jauh dari kolong lintasan. Bangunan-bangunan itu merupakan warung makan, tempat pijat urut, penjual bahan bagunan dan lain-lain. Meskipun bukan permukiman, bangunan-bangunan itu sering didatangi masyarakat.
Gatot Susanto (40), salah satu pekerja konstruksi LRT Jabodetabek mengatakan keberadaan warung dan toko-toko itu mengkhawatirkan. "Ya namanya lagi pembangunan begini kalau ada barang yang jatuh dari atas kan bahaya," ucap Gatot.
Menurut Gatot, lahan di kolong lintasan idealnya dikosongkan. Lahan itu nantinya akan berfungsi untuk masuk dan keluar alat berat di wilayah itu. "Nanti akan ada uji coba, perbaikan dan penyempurnaan untuk tahap akhir dan lain-lain. Harus ada ruang kosongnya untuk masuk alat berat atau kendaraan besar," imbuh Gatot.
Kekhawatiran akan direlokasi dirasakan Uun dan pedagang lain. Sebagian dari mereka merasa cepat atau lambat mereka akan ditertibkan. "Saya udah merasa dari awal, sepertinya akan kena gusur," papar Uun. Ia sadar betul bahwa keberadaan warungnya di kolong lintasan juga tidak aman bagi keselamatan dia dan pembelinya.
Keputusan terkait pembebasan lahan serta penertiban menurut Isman merupakan kebijakan penuh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pembebasan Lahan.
"Kalau itu memang tanah warga biasanya akan dibebaskan terlebih dahulu. Sedangkan, jika itu bukan tanah warga tapi sudah terlanjur dibangun menjadi tempat tinggal atau tempat usaha begitu biasanya akan diberi kompensasi atas bangunan," kata Isman.
Menurut Isman, permasalahan yang sering terjadi pada saat pembebebasan tanah salah satunya adalah ketidakjelasan kepemilikan. "Bisa jadi itu tanah dia (warga), bisa jadi juga itu tanahnya pemerintah tapi dipakai begitu saja. Harus dipastikan dulu kepemilikannya sebelum ada tindakan relokasi atau ganti rugi," tegas Isman.
Jika benar suatu saat warungnya digusur, Uun mengaku pasrah. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak tahu menahu terkait tanah yang ia tempati itu milik siapa. Uun menuturkan bahwa ia menyewa tanah itu dari orang lain. "Kalau digusur ya sudah. Mungkin nanti pindah jualan di depan rumah saja," tutur Uun. (KRISTI DWI UTAMI)