Bertaruh Nyawa di Parung Panjang
Lidah api menjilat-jilat udara, membakar lembaran logam timbel dari aki bekas. Pekatnya asap dari pembakaran itu membuat langit dini hari di Desa Jagabaya, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kian gelap. Bau asam menusuk hidung, debu timbel beterbangan di udara, mengancam kesehatan para pekerja.
Bagi yang tak terbiasa, dalam hitungan menit pun sudah tak tahan terhadap bau asam yang disebarkan dari peleburan aki bekas ilegal ini, yang menempati lahan hampir seluas lapangan volly yang dikelilingi semak belukar. Namun 2 pekerja di peleburan aki bekas milik TR (29), terus bertahan berada di dekat tungku, meski tanpa masker.
Bahkan, pekatnya asap dari peleburan, itu tak mengalahkan gerakan para pekerja yang tetap gesit memindah-mindahkan potongan arang. Arang digunakan sebagai bahan bakar untuk melebur timbel atau timah hitam (plumbum/PB) dari aki bekas, limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) itu.
“Ah, tidak apa-apa. Buktinya saya baik-baik saja,” kata AA (42), seorang pekerja di tempat peleburan itu beberapa waktu lalu.
Peleburan aki bekas ilegal ini bukan hanya tak memenuhi syarat administrasi. Secara teknologi, peleburan yang dijalankan masyarakat ini juga masih dijalankan secara tradisional. Debu yang dihasilkan dari pembakaran timbel aki bekas itu pun terbang bebas di udara, dan itu berisiko mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan penelitian Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bersama Badan Tenaga Nuklir Nasional, debu timbel yang terhirup manusia sangat berbahaya bagi kesehatan. Debu timbel berukuran PM 2,5 (debu berukuran 2,5 mikrometer) dapat masuk ke aliran darah dan terakumulasi atau terdeposit di organ bagian dalam tubuh manusia, seperti tulang, ginjal, hingga sistem saraf pusat di otak.
Jika timbel di dalam tubuh terakumulasi dalam jumlah banyak, maka dapat menyebabkan kejang-kejang, kanker, hingga gagal ginjal. Sementara konsentrasi timbel yang ditoleransi di dalam darah harus kurang dari 5 mikrogram/desiliter.
Tanpa menyadari bahaya debu timbel yang mengintai, para pekerja di peleburan itu tetap tekun melaksanakan pekerjaannya. Beberapa pekerja mengawasi kerja blower, kipas angin bertenaga besar, agar tetap menghembuskan angin yang kencang sehingga bara api tetap menyala.
Senyapnya malam itu pun dipecahkan oleh suara gemerutuk dari percikan api yang membakar arang, bersaing dengan gemuruh putaran baling-baling blower.
Tanpa menyadari bahaya debu timbel yang mengintai, para pekerja di peleburan itu tetap tekun melaksanakan pekerjaannya
Tungku yang digunakan untuk melebur aki bekas menyerupai mulut sumur dengan diameter hampir 100 cm. Dinding tungku memiliki tebal 20 cm, dan tinggi 80 cm. Dinding tungku setinggi 40 cm terbenam di dalam tanah, dan 40 cm lagi muncul di permukaan. Lubang tungku berdiameter 80 cm yang digunakan sebagai tempat membakar arang untuk melebur lembaran timbel dari aki bekas.
Lembaran timbel yang meleleh itu mengumpul di tengah timbunan bara arang. Lelehan timbel yang berwarna merah menyala itu kemudian dicor di dalam cetakan berbentuk balok. Sementara lelehan timbel yang menyatu bersama abu arang akan menjadi slag, bentuknya menyerupai batu karang berwarna hitam.
“Sisanya (slag) dipakai buat nguruk jalan desa,” ucap AA yang irit bicara.
Peleburan aki bekas milik TR ini merupakan satu dari sejumlah peleburan aki ilegal yang dijalankan masyarakat di Parung Panjang sejak menjelang tahun 2000. Iritnya AA dalam berbicara juga tak lepas dari status ilegal yang melekat pada peleburan aki tempatnye bekerja.
Beberapa tahun sebelumnya, pemerintah setempat pernah melaksanakan razia, tetapi peleburan ilegal itu kembali muncul saat pengawasan melemah seperti yang terjadi sekarang.
Hingga kini dampak gangguan kesehatan akibat kontaminasi timbel dalam darah di Parung Panjang itu memang belum tampak. Namun di desa tetangganya, Desa Cinangka, gangguan kesehatan akibat kontaminasi timbel itu dapat ditemui pada anak-anak, dan umumnya mereka menderita cacat mental hingga gejala menyerupai autisme.
Baca juga: Membahayakan, Timbel Sudah Cemari Udara, Tanah, dan Darah
Masyarakat Desa Cinangka sudah menjalankan peleburan aki bekas secara tradisional sejak 1978 . Hampir 22 tahun kemudian, sekitar 2002, usaha peleburan itu mulai ditinggalkan sejak 10 pekerja peleburan aki di desa itu meninggal dengan gejala yang serupa, yakni sesak napas dan gangguan pada paru-paru.
MA (53), mantan pengepul aki bekas di Desa Cinangka ini mengungkapkan, 10 pekerja itu meninggal dalam usia sekitar 35-40 tahun.
“Mereka yang meninggal itu bekerja di tempat peleburan aki bekas. Sejak itu, warga mulai khawatir (terhadap dampak peleburan aki bekas). Selain itu, sejak tahun 2000, anak-anak di sini (Desa Cinangka) juga mulai ada yang alami cacat (mental),” jelasnya.
Hingga kini, sejumlah anak dengan gejala keterbelakangan mental dapat dijumpai di desa itu. Berdasarkan pengamatan Kompas, jumlahnya ada 8 anak. Selain alami gejala keterbelakangan mental, beberapa diantara mereka juga kerap kejang-kejang, yang merupakan salah satu gejala keracunan timbel.
AN (12) memiliki kadar timbel dalam darah mencapai 23 mikrogram/desiliter, 4 kali lipat dari batas toleransi timbel di dalam darah yang harus kurang dari 5 mikrogram/dL. Dalam seminggu, AN bisa kejang-kejang sampai dua kali, dan setiap kali kejang bisa berlangsung hingga 6 jam.
NR, gadis berusia 28 tahun ini juga kerap menderita kejang-kejang sejak usia 1,5 tahun. Menurut RH (53), ibu NR, sekitar tahun 1990, saat NR lahir, dia dan suaminya memang menjalankan peleburan aki bekas. “(Memang) asap kadang masuk (lewat ventilasi). Tetapi alhamdulillah 3 anak saya yang lain sehat. Hanya NR yang sakit,” kata RH.
Juga diakui RH, ada 4 tetangganya yang juga menderita kejang-kejang seperti NR. Usianya pun hampir sama dengan NR. “Sampai sekarang, saya belum mengetahui apa penyebab kejang-kejang ini,” kata RH.
Peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Haryanto mengungkapkan, dibutuhkan periode yang panjang hingga gangguan kesehatan akibat pencemaran timbel itu muncul.
“Penyakit yang disebabkan oleh kimia (timbel) itu dampaknya tak langsung. Setelah kadarnya (kadar timbel) di dalam tubuh itu tinggi, baru muncul gejala. Kejang-kejang, salah satunya,” jelas Budi.
Timbel yang dicemarkan lewat udara pun, lanjut Budi, belum tentu dihirup oleh semua orang di lokasi yang tercemar itu dalam kadar yang sama. Hal itu yang menyebabkan ada anak yang terbukti kadar timbel di darahnya tinggi, tetapi yang lainnya masih dalam taraf normal.
Penyakit yang disebabkan oleh kimia (timbel) itu dampaknya tak langsung. Setelah kadarnya (kadar timbel) di dalam tubuh itu tinggi, baru muncul gejala. Kejang-kejang salah satunya
“Manusia ini kan dinamis. Sementara angin yang membawa debu timbel itu juga terus bergerak. Makanya ada anak yang kejang-kejang, sementara saudaranya tak mengalami gejala serupa,” jelasnya.
Gangguan kesehatan pun sesungguhnya dialami pula oleh pekerja di peleburan aki bekas ilegal. AA, contohnya, sesungguhnya dia tak pernah rutin bekerja di peleburan di Desa Jagabaya. Ada kalanya dia bekerja sebagai buruh serabutan.
Namun AA menampik jika dia bekerja sebagai buruh serabutan itu karena alami gangguan kesehatan akibat bekerja di peleburan aki bekas. Menurutnya, ada kalanya pasokan aki bekas itu berkurang sehingga peleburan tak berjalan. “Saya sehat kok,” ucapnya.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin, sejak KPBB meneliti dan memberikan pendampingan terhadap warga di lokasi peleburan aki ilegal sejak 2001 hingga saat ini, diketahui bahwa berhentinya seorang pekerja peleburan aki bekas, disebabkan penurunan kondisi kesehatannya.
“Pajanan kadar timbel dalam darah yang terlalu tinggi membuat para pekerja rentan terkena sejumlah gangguan penyakit,” jelas Safrudin.
Selain ancaman nyata terhadap kesehatan, upah sebagai pelebur aki bekas juga sesungguhnya sangat kecil jika dibandingkan dengan risiko pekerjaan itu terhadap kesehatan. Para pekerja itu hanya menerima upah Rp 150 untuk setiap 1 kg timbel yang dihasilkan.
Baca juga: Bandar Berperan Langgengkan Pencemaran
Dalam semalam, AA bisa menghasilkan 23 batang timbel, dengan bobot tiap batang seberat 25-27 kg. Setelah bekerja keras melebur, upah yang diperoleh AA tak lebih dari Rp 90.000. Sementara belum semua warga miskin di Kabupaten Bogor memperoleh BPJS Kesehatan. “Iya, itu mah minim. Hahaha,” tawa Aa berderai dengan nada getir. (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RIAN RINALDI)