Wawancara: Satu Tahun Pemerintahan Anies Baswedan
Hari ini, Selasa (16/10/2018), tepat satu tahun Ibu Kota di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Senin siang kemarin, selama lebih kurang 1,5 jam, Anies berbagi kisah kinerjanya bersama jajaran aparatur sipil negara (ASN) di lingkup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Berikut wawancara Kompas dengan Anies di ruang kerja gubernur di Balairung, Balai Kota DKI Jakarta.
Evaluasi setahun ini, kendala dan pencapaian seperti apa?
Hal terpenting dalam fase pertama itu adalah merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Seorang gubernur diberi tugas untuk memimpin Jakarta. Dia dinilai berhasil atau tidaknya bukan berdasarkan opini-opini saja, tapi atas rencana yang dia bikin sendiri. Ini supaya fair bagi warga Jakarta. Jangan sampai warga Jakarta tidak tahu dalam lima tahun ini mau seperti apa.
Masalah di Jakarta akan selalu ada, tetapi yang tidak boleh itu adalah masalah berulang. Kami tidak boleh ketemu masalah yang sama, oleh karena itu harus ketemu mitigasinya. Saya pegangnya janji kampanye, lalu diterjemahkan dalam RPJMD. Lalu, siapkan lima tahun, tiap tahun kami kerjakan apa.
Permasalahannya, siklus anggaran sama siklus jabatan ini tidak sinkron. Saya dilantik pada tanggal 16 Oktober, tetapi KUA-PPAS (Kebijakan Umum APBD-Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara) sudah jalan. Kemudian, kami mencoba menyiasati dengan hal-hal yang tidak membutuhkan APBD, atau kita bisa gunakan APBD dengan ruang yang ada. Kita lakukan yang kita bisa. Hal-hal dasar yang bisa kita lakukan dengan APBD yang ada sudah kami lakukan. Salah satu contoh adalah kami menyediakan komponen kesejahteraan masyarakat, yaitu perumahan melalui DP Rp 0. DP Rp 0 anggarannya sudah bisa diakomodasi dalam APBD Perubahan 2018 sehingga beberapa hari lalu bisa kami luncurkan.
Soal lalu lintas dan transportasi umum, kami coba pengintegrasian dengan eksperimen kami namai OK Otrip. Alhamdulillah berhasil, dan saya bersyukur sekali. 11 operator kecil untuk pertama kali mau duduk bersama, dan mau kerja bersama. Ini prosesnya saya ketemu langsung sama semua pengelola itu, dan ketemu langsung mendengarkan pahit-pahitnya. Mereka juga mengatakan pertama kalinya diundang gubernur sepanjang kami beroperasi.
Saya ingin membuat sistem di mana operator bisa sustainable. Orang yang bekerja di situ merasakan kesejahteraan, warga yang ada di situ merasakan kendaraan umum yang aman, nyaman, dan terintegrasi. Lalu, pemprov siapkan anggaran yang cukup untuk menutup selisih karena tidak mungkin angkutan umum akan bisa menutup semua biaya selisih dan pemasukan. Kami mau operator juga fair, transparan dalam penghitungan, kami pun bisa nyaman alokasikan anggaran.
Ini adalah fase awal, kalau yang kecil sudah mau gabung, yang menengah ke atas akan mau ikut. Setelah eksperimen ini, saya juga mengganti nama program menjadi Jak Lingko. Ini sekaligus memberikan pesan bahwa semuanya harus nyambung antara MRT, LRT, dan BRT.
Saya sudah membangun fondasi awalnya, insya Allah nanti ke depan bisa semakin mudah. Pondasi awalnya adalah cara melihat masalah solusinya itu dibuat struktur yang benar sehingga tahun-tahun ke depan kita bekerja dalam arah yang benar. Sehingga di tahun kelima, yang direncanakan di RPJMD tercapai.
Dari 23 janji kerja yang tertuang di RPJMD itu poin mana saja yang sudah terealisasi?
Semuanya sudah, tetapi perkembangannya beda-beda. Tetapi, hampir semuanya sudah, tidak ada yang belum dimulai.
Target rumah DP Rp 0 selama 5 tahun sebanyak 14.564 unit di 23 lokasi. Sekarang baru 780 unit di Kelapa Village, itu bagaimana mencapainya?
Itu yang kami kerjakan oleh pemerintah, sisanya akan kami akan undang private sektor, dan BUMN untuk terlibat. Insya Allah pengerjaan bisa sesuai target. Ini APBD-Perubahan saja baru bisa disepakati bulan lalu. Alhamdulillah kita bisa bangun 780 unit. Sisanya akan dikejar di APBD 2019 dan selanjutnya.
Itu kan hanya untuk mereka yang berpenghasilan Rp 4 juta-Rp 7 juta. Mereka yang bergaji UMR tidak dapat mengaksesnya. Ada solusi?
Sesuai RPJMD 2018-2022, opsinya bagi mereka yang bergaji di bawah Rp 4 juta itu adalah rumah susun sederhana sewa. Namun, kami ingin membangun rusunawa dengan opsi mereka bisa memiliki setelah dipakai 20 tahun. Kalau mereka bayar rutin, dan merawat unit rusunawa dengan baik, setelah 20 tahun mereka bisa memiliki. Sebab, kalau mereka ikut dalam perbankan, secara pendapatan mereka belum bankable. Jadi, salah satu opsi adalah sewa. Nanti ini harus kami atur soalnya ada masalah pemindahan aset dari aset pemprov kepada masyarakat. Kami sedang pelajari aturannya.
Paradigma yang saya mau bawa itu adalah kami ingin hadirkan keadilan sosial di Jakarta. Kami ingin Jakarta memberikan kesempatan yang sama bagi semua. Ada yang kecil ingin besar kami bantu caranya. Kalau ujungnya mereka tidak memiliki rumah, maka kami tidak meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kasus-kasus seperti kampung akuarium itu kami mendekati dengan program community action plan (CAP). Ini proses yang panjang dan lama karena mendekatinya tidak mudah, harus ada diskusi, dialog, aspirasinya apa. Kami memang ingin menata kampung yang bukan sekadar bangunan, tetapi adalah tempat manusia hidup. Pendekatan itu yang saya coba ubah di Jakarta sehingga siapapun yang bekerja di pemprov itu melihat masalah yang ada di pemerintah adalah masalah manusia. Bukan masalah tata ruang saja. Tapi tentang mengelola aspirasi manusia.
Terobosan apa untuk mencapai target yang diinginkan?
Insya Allah Anies akan menepati janji. Belum tentu selesai sekarang, tetapi insya Allah ditepati. Saya tidak meninggalkan Jakarta, meskipun ada iming-iming kanan-kiri. Itu pesan yang jangan dilupakan. Ini penting untuk pasukan saya di bawah, semua ASN tahu bahwa gubernurnya tidak meninggalkan mereka. Jadi, saya berharap Insya Allah kami tunaikan, tapi perlu waktu. Saya ingin melaksanakan ini sesuai dengan ketentuan artinya menggunakan anggaran yang benar, proses yang benar. Ini kan pasti memakan waktu. Karena itu planning menjadi penting, kalau perencanaan bener, insya Allah eksekusinya jalan. Harapannya, nanti kami genjot dengan fiskal yang cukup untuk program-program yang 2018 lalu tidak bisa terlaksanakan karena belum disediakan kantongnya.
DP 0 rupiah harapannya tidak putus di tengah jalan. Apa rencananya supaya program itu ada meskipun tidak ada Pak Anies?
Saya senang sekali, di program ini BUMN banyak yang tertarik terlibat. Banyak orang yang mau membangun tetapi mereka tidak mau kerumitan mencari pembeli. Karena sebagian bukanlah pengembang properti. Kami lewat program ini itu punya orang yang siap beli. Seperti sekarang yang bangun PD Sarana Jaya, kemudian UPT Perumahan siapkan syarat-syaratnya. Ini seperti supply and demand ketemu. Kami mengorganisasi supply-nya dalam artian buyer, sementara banyak yang terlibat mau membangun rumahnya. Sudah ada tiga BUMN besar yang berminat terlibat dan kalau mereka berminat dan eksekusi itu ototnya besar sekali. Mereka bisa bangun banyak sekali. Nah, kami organisasi orang yang mau membeli. Saya semakin optimistis. Insya Allah ini akan jadi satu model berkelanjutan.
Lahan tidak kurang?
Enggak, apalagi kalau sudah jadi hunian vertikal. Saya juga sudah sampaikan lokasi bisa di dalam masterplan transportasi umum massal kita (TOD). Supaya kalau bangun dekat dengan stasiun, gedung, bus transjakarta, jadi tidak perlu punya mobil atau motor.
Semakin banyak yang membangun rumah DP Rp 0, Pemprov DKI kan harus sediakan dana talangan DP (uang muka), apakah kemampuan fiskal APBD DKI bisa?
Mudah-mudahan bisa kami imbangi, dan saya juga nanti berharap ada solusi komersial juga terkait dengan itu. Kami kan kemarin numpang dengan program FLPP jadi harus kami tutup 1 persennya. Ke depan dengan magnitude yang semakin besar semoga ketemu solusi baru soal ini.
Di APBD 2019 ini diajukan Rp 5,8 triliun untuk talangan DP Rp 0 ya?
Betul. Itu untuk tahun ini. Harapannya bisa ketemu skema komersial lain untuk nutup ini. Mudah-mudahan bisa ada kerja sama dengan perbankan dll. Bahkan dengan Menteri PUPR kita juga melakukan sinkronisasi program termasuk dalam penyediaan perumahan ini. Banyak yang mengaitkan isu-isu di Jakarta ini dengan politik, padahal sebenarnya koordinasi kami dengan pusat bagus.
Apakah soal politisasi itu memang jadi kendala pembangunan di Jakarta?
Tidak. Saya berada di wilayah publik, apa pun yang saya lakukan dan katakan akan jadi perbincangan, akan banyak interpretasi. Kami tidak bisa salahkan orang interpretasi apa pun. Buat saya itu hal normal dan biasa saja. Justru menurut saya itu membantu untuk tambahan feedback persepsi seperti apa. Karena saya rencana menyelesaikan itu di ujung RPJMD, bukan apa kata orang bilang.
Akhir masa jabatan ingin meninggalkan legacy apa?
Satu adalah warga merasakan kota ini bisa untuk menumbuhkan keluarga bahagia. Artinya fasilitas kesehatan baik, pendidikan baik, bisa punya akses untuk mencari pekerjaan yang baik, aman, terhindar dari potensi bencana, masalah-masalah yang menyangkut kehidupan dasar warga. Jadi, saya ingin menempatkan kota ini sebagai tempat keluarga-keluarga hidup, berkembang. Karena sebuah kota bisa disebut kota itu kalau manusianya ada. Dan lingkar kecil adalah keluarga. Jadi saya ingin keluarga di Jakarta bahagia.
Pembangunan infrastruktur itu untuk membuat hidup kita lebih mudah dan lebih bahagia, jangan lupa, tujuannya itu. Kalau kita enggak sampai ke sana terus buat apa itu semua. Saya ingin warga tuh bilang ”Alhamdulillah, untung di Jakarta”. Jangan sampai sebaliknya.
Tahun depan, selama proses pilpres, Jakarta pasti kena imbasnya. Dua calon itu ada di sini, sementara selama ini politik panas. Kira-kira bagaimana membawa Jakarta tetap adem dan fokus ke program-program unggulan?
Mulai dari saya sendiri, bahwa saya tetap fokus di Jakarta tidak ikut dalam percakapan politik pilpres. Kalau saya ikut dalam percakapan pilpres kita tidak bisa ajak orang untuk fokus ke program di Jakarta. Karena itu gubernur fokus menunaikan tugas di Jakarta dan saya kemudian dengan leluasa mengajak semuanya fokus di Jakarta.
Posisi kami di Jakarta, ASN jelas harus netral. Program-program kami koordinasi dengan pemerintah pusat. Dengan daerah juga koordinasi, jadi dari gubernur harus membawa pesan bahwa gubernur fokus pada Jakarta.
Soal pencabutan izin 13 pulau reklamasi, masih ada pertanyaan soal empat pulau yang sudah terbangun, bagaimana pemanfaatannya?
Kami ingin jalankan sesuai ketentuan. Saya memperlakukan rencana reklamasi sebagai sebuah proses teknokratik, bahwa pernah ada rencana melalui Perpres Nomor 52 Tahun 1995. Karena itulah saya sebagai orang yang mendapat mandat Perpres itu melihat rencana reklamasi itu baik. Di situ diamanatkan untuk membuat badan, ya saya buat badan. Badan ini diberi tugas untuk melakukan review sudahkah semua ketentuan yang ada di dalam pelaksanaan reklamasi dijalankan semua pihak yang mendapatkan izin?
Karena itulah saya sebagai orang yang mendapat mandat Perpres itu melihat rencana reklamasi itu baik. (Anies Baswedan)
Setelah di-review, ternyata punya izin tetapi tidak jalankan kewajiban. Jadi ketika saya putuskan untuk cabut (izin) jangan protes sama saya. Sudah dapat izin dari 2012, tetapi tidak sesuai dengan kewajibannya. Kalau tidak ya saya cabut. Bahkan ada yang izinnya sudah expired, terus memperpanjang izin lagi, tetapi kewajiban tidak juga dikerjakan. Itu yang menjadi dasar. Karena saya bertindak sesuai aturan, sampai sekarang tidak ada pengembang yang menggugat.
Sekarang tim pesisir sedang membuat masterplan tentang pesisir Jakarta. Dari masterplan akan diturunkan ke dalam pasal-pasal untuk revisi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Kami tidak mau kerja pasal, sebelum ada rencananya. Kalau saya ditanya pasalnya ada, tapi belum ada gambar perencanaannya gimana? Kalau ditanya saya tidak bisa jawab. Saya ingin dibalik, kami sudah ada bayangan pesisir Jakarta seperti apa. Dari situ diturunkan jadi pasal-pasal baru diwujudkan dalam rencana tata ruang, baru mulai kerja. Pemanfaatan pulau baru bisa dikerjakan setelah ada aturan itu. Kami tidak mau kerja tanpa aturan. Mudah-mudahan akhir tahun ini selesai masterplannya.
Cara kami selesaikan ini juga kirimkan pesan pada dunia usaha bahwa di Jakarta, anda ikuti aturan, anda akan aman. Gubernurnya ikuti aturan. Saya tidak ingin dunia usaha khawatir ada ketidakpastian hukum. Justru saya ingin hadirkan kepastian hukum.
Di sisi lain, pemprov juga sudah terima banyak uang dari pengembang. Ada yang sudah memberikan kewajiban, rumah, jalan layang. Saya juga tidak mau ambil sikap semena-mena. Karena itu, mereka yang sudah terlanjur memberikan, meskipun izin saya cabut, tetapi aset dihitung dan dicatat. Bila di kemudian hari mereka melakukan pembangunan, dan harus setor kewajiban ini bisa dipakai. Jadi mereka tidak kehilangan uang. Ini bukan dalam rangka memiskinkan tetapi dalam rangka memberikan kepastian hukum.
Akhir tahun, banjir masih jadi ancaman?
Saya rasa masih, selama waduk di atas belum selesai semua. Dan, kami harus antisipasi itu tentu dengan program akan masifkan pembangunan vertikal drainase. Sehingga air sesegera mungkin masuk ke tanah. Jadi hulu air di Jakarta ada dua, satu di puncak, dan kedua di atap rumah atau hujan. Banjir karena hulu dan hilir semakin jauh. Kalau dari atap rumah langsung jatuh (zero ran off) itu nanti akan bisa kendalikan banjir. Kemarin saya belum bisa anggarkan untuk vertikal drainase, tahun ini baru bisa kami gambarkan. Vertikal drainase itu semacam lubang biopori yang dilengkapi dengan bak kontrol. Tujuannya untuk memasukkan air hujan ke tanah, bukan ke jalan raya. Kami akan bangun di semua wilayah terutama di daerah cekungan, dan lain-lain. Tetapi kendalanya adalah pemprov hanya bisa membangun di area milik mereka, bukan area privat. Permasalahan hukum itu sedang dikaji oleh tim biro hukum. Khusus untuk wilayah yang sudah kedap air, itu tidak ada pilihan lain kecuali pompa.
Untuk penanganan banjir di sungai-sungai di Jakarta, kami harapkan lebih banyak lagi waduk dan embung di Bogor. Karena mengurangi volume air turun dari Bogor penting, karena selama itu besar itu akan jadi masalah. Sungai akan kami lakukan naturalisasi yaitu membuat sungai itu hidup sebagai ekosistem bukan sebagai kanal yang semata-mata berfungsi mengalirkan air ke laut. Ada contohnya di negara-negara lain, seperti di Singapura, Australia, dan Jepang, yang membongkar saluran beton menjadi lebih natural. Nantinya, lokasi yang akan dipilih untuk naturalisasi adalah Sungai Ciliwung di Manggarai-Jalan Mas Mansyur.
Dalam program naturalisasi, kami tetap akan mempertahankan kelokan-kelokan. Ada kemungkinan saluran beton akan dibongkar tetapi tidak sekarang, semua akan diproses secara bertahap.
Soal dana hibah yang diberikan ke wilayah-wilayah lain di Jakarta, itu masih tetap berlanjut atau tidak?
Kami masih teruskan dan dukungan pemprov DKI ke berbagai tempat itu kami ingin duduk sama-sama. Sekarang saya juga aktifkan BKPSP (Badan Kerja Sama Pemerintah Jabodetabekjur). Saya ketuanya dan saya menunjuk mantan wali kota untuk memimpin supaya bisa menunjuk yang lain sebagai orang yang paham. Kenapa saya minta mantan wali kota? Supaya mereka sudah paham permasalahannya. Kami ingin perencanaan bareng-bareng, urusan transportasi, air, dan lain-lain. Masih tetap berlanjut pemberian dana hibah itu, asalkan jelas kerja samanya seperti apa.
Soal pelayanan publik beberapa ada keluhan pemerintah, termasuk di tingkat kelurahan tidak lagi terlalu responsif, itu bagaimana?
Itulah mengapa pentingnya membuat sistem. Jadi, nanti di-jagain oleh Anies atau tidak tetap jalan. Itulah pentingnya leadership membangun sistem. Sekarang saya sedang bikin tata kelola pemerintahan tersebut. Sekarang kinerja PNS tidak nyambung dengan hasil yang dirasakan masyarakat. Menurut kinerja saya baik, tetapi efeknya di masyarakat enggak. Sekarang kami lagi susun mekanisme untuk membuat penilaian kinerja itu nyambung dengan manfaat yang dirasakan masyarakat. Kalau itu terjadi, output kegiatan nyambung dengan warga. Lurah misalnya, responsif atau tidak apa bedanya? Seharusnya lurah responsif dapat penghargaan, dan yang tidak TKD-nya dipotong.
Contohnya adalah persentase sungai tercemar berat bertambah, tetapi hasil kinerja pemprov baik. Kinerja menurut laporan baik, tetapi hasilnya jelek. Citra selama ini air bersih kan? Tidak ada sampah. Apakah kinerja Jakarta dinilai seperti itu? Jangan dinilai dari tampilan mata, tapi dari data pencemarannya.
Seluruh SKPD harus kerja bener karena semua dihubungkan dengan kinerja capaian. Jadi bukan semata-mata berapa jam kerjain ini. Capaian itu isinya terjemahan RPJMD. Itu kerja teknokratik, bukan kerja political. Kalau enggak mencapai kinerja, TKD dipotong sampai 10 persen. Sekarang sistem dengan dibikin supaya Anies ataupun tidak, yang namanya pekerjaan delivery terhubung dengan hasil.
Itu kan membangun dari nol. Kendalanya?
Tidak nol banget, karena ukuran yang dicapai ada dan tunjangannya ada. Sekarang semuanya sudah dihubungkan. Dulu, suku dinas perhubungan se-Jakarta itu tidak ada KPI-nya. Kami sudah punya daftar komplain warga, itu akan disesuaikan dengan kecepatan dia menyelesaikan. Kalau dia terlambat merespons, TKD akan dipotong. Karena selama ini belum terhubung dengan TKD. Saya mau menyelesaikan sistem, bukan political gain. Saya memperbaiki sistem agar efeknya sistemik. Kalau sistem sudah berjalan, gubernur no longer the hero karena sistem sudah bisa selesaikan permasalahan di DKI.