BEKASI, KOMPAS — Meskipun panas terik matahari sepertinya masih enggan digantikan dengan musim penghujan, datangnya bulan-bulan basah memang tidak akan terelakkan lagi menjelang akhir tahun ini. Untuk itu, warga yang bermukim di dekat sungai bersiap menghadapi datangnya banjir, seperti warga di bantaran Sungai Cileungsi, Cikeas, dan Bekasi. Mereka berupaya mandiri mewujudkan sistem mitigasi bencana yang akan membantu warga tetap selamat saat banjir datang. Diskusi yang diadakan pada Sabtu (13/10/2018) itu memunculkan kesiapsiagaan warga tersebut ke permukaan.
Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas (KP2C) Puarman mengatakan, daerah aliran sungai (DAS) Cileungsi, Cikeas, dan Bekasi membentang dari Kabupaten Bogor hingga Kota Bekasi. Adapun Sungai Cileungsi dan Cikeas bergabung di perbatasan Kabupaten Bogor dan Bekasi lalu menjadi Kali Bekasi.
Pada DAS ketiga sungai tersebut, terdapat 26 perumahan yang ditinggali 16.000 kepala keluarga. Setiap kepala keluarga menderita kerugian sekitar Rp 5 juta saat dilanda banjir. ”Semuanya terdampak banjir dari tahun ke tahun,” kata Puarman seusai diskusi Hidup Aman dan Nyaman bersama Sungai di Bekasi, Sabtu (13/10/2018).
Dalam diskusi itu, hadir Staf Khusus Presiden Diaz Hendropriyono, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane Bambang Hidayah, Direktur Kesiapsiagaan/Perbaikan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Medi Herlianto, serta perwakilan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Protelindo. Hadir pula lurah, ketua RW, dan ketua RT dari Desa Bojongkulur, Kabupaten Bogor, dan Kelurahan Jatirasa, Kota Bekasi, yang terdampak banjir.
Puarman mengatakan, kian tahun banjir kian parah karena sedimentasi sungai bertambah. Sungai pun terus mendangkal karena tidak pernah dikeruk. Pengerukan terakhir dilakukan pada 1973. Akibatnya, banjir merendam seluruh rumah warga. ”Banjir paling parah itu di Perumahan Pondok Gede Permai, air merendam hingga lantai dua rumah warga,” katanya.
Banjir juga mengakibatkan rapuhnya tanggul. Seluruh tanggul yang ada di DAS Cileungsi dan Cikeas hampir runtuh. Warga pun terancam tanah longsor.
Puarman mengatakan, setidaknya terdapat empat hal yang diperlukan untuk mengatasi banjir dan longsor, yaitu normalisasi sungai dan pembuatan tanggul permanen. Perlu pula dibangun pintu pengendali air di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi serta pembangunan waduk di hulu Sungai Cileungsi. ”Empat hal tersebut merupakan rekomendasi yang akan kami serahkan kepada Presiden,” ujarnya.
Kamera pemantau
Untuk mengurangi dampak banjir, warga yang tergabung dalam KP2C menginisiasi pemasangan kamera pemantau tinggi muka air di empat pos pantau. Keempat titik tersebut berada di Sungai Cibongas, Cileungsi, Cikeas, dan Bendung, Bekasi.
Dari kamera tersebut, informasi aktual tinggi muka air disebarkan melalui aplikasi pesan daring. Puarman mengklaim, dengan peringatan dini itu, informasi banjir dapat diketahui empat jam sebelumnya. Warga pun memiliki waktu cukup untuk mitigasi.
”Kesiapan masyarakat adalah kunci. Jika masyarakat siap, banjir tidak akan menjadi bencana karena risikonya sudah dapat ditanggulangi,” kata Medi Herlianto, Direktur Kesiapsiagaan/Perbaikan Darurat BNPB.
Ia menambahkan, 92 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan puting beliung. Bencana tersebut juga menyumbang jumlah kerugian terbesar bagi masyarakat. Untuk itu, peningkatan kapasitas mitigasi harus lebih cepat dari peningkatan kerentanan bencana.
Menurut Medi, kesiapsiagaan bermula dengan memetakan peta rawan bencana dan sumber daya untuk pembagian tugas. Setelah itu, membuat perencanaan dan prosedur operasi standar saat bencana terjadi. ”Prosedur operasi standar itu harus diterapkan mulai dari organisasi terkecil, yaitu keluarga,” ucap Medi.
Normalisasi
Bambang Hidayah, Kepala BBWS Ciliwung Cisadane, mengatakan, DAS Kali Bekasi yang membentang dari hulu Kali Cileungsi, Cikeas, di Pegunungan Hambalang, hingga bagian hilir Kali Bekasi di Laut Jawa, merupakan yang terluas di wilayah yang ditanganinya. Luas DAS Kali Bekasi mencapai 1.471 kilometer persegi.
”Seluruhnya akan kami usulkan untuk dinormalisasi karena penanganan banjir tidak bisa parsial, tetapi harus menyeluruh,” kata Bambang. Dalam perencanaan yang sudah dibuat, normalisasi membutuhkan dana Rp 5 triliun.
Akan tetapi, pelaksanaannya diprioritaskan pada daerah yang berdampak lebih besar pada masyarakat. Pada tahun anggaran 2018, penurapan tebing sungai sepanjang 90 meter dilakukan di SD Pekayon, Kota Bekasi, dengan anggaran Rp 9 miliar. Pengerjaannya sudah mencapai 70 persen. Saat ini, tengah menunggu anggaran tambahan dari APBNP 2018.
Penurapan sepanjang 150 meter juga akan dilakukan di Kemang Pratama, Kota Bekasi. Proyek tersebut masih dalam proses lelang dan menunggu anggaran untuk 2018.
Bambang mengatakan, penurapan lain juga akan dilakukan di Cipendawa. Turap tebing yang sudah rusak di sana berdampak pada penutupan arus lalu lintas, dari dua arah menjadi satu arah. Namun, pelaksanaan proyek terkendala pemindahan aset. Turap rusak milik Pemerintah Kota Bekasi belum diserahkan kepada pemerintah pusat.