”Ayo, KKN Lagi ke Desa Ini...”
Desa ini membutuhkan ide-ide segar yang bisa membangkitkan semangat, desa ini mampu! Desa ini membutuhkan pemuda akademi yang mau berbagi ilmu dengan pemuda-pemuda di sini untuk bertahan dan membangun desa. Desa itu harus maju sekarang. Nah, mahasiswa Universitas Udayana yang datang melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) ternyata benar nyata membantu desa agar berdaya. Jika bisa berharap, tahun depan, ayo, KKN lagi ke desa ini....
Kalimat ini mengakhiri obrolan Kompas dengan Kepala Desa Gunung Salak I Gusti Made Sujirta. Desa Salak yang terletak di Kecamatan Selemedeg Timur, Kabupaten Tabanan, lebih kurang 15 kilometer dari pusat kabupaten dan 39 kilometer dari Kota Denpasar, ibu kota Provinsi Bali.
Ya, pertengahan tahun 2017, desa ini mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten Tabanan, menuju desa wisata. Tahun ini, Sujirta mengajak tokoh-tokoh desanya belajar membangun desa wisata bersama-sama. Selama dua tahun ini, ia harus mampu membuktikan Desa Gunung Salak layak menjadi desa wisata unggulan Kabupaten Tabanan.
Apa saja keunggulan desa ini yang diperjuangkan Sujirta?
Desa Gunung Salak memiliki harapan untuk mandiri di bidang ekonomi, berbudaya di bidang kemasyarakatan, dan berkeadilan di bidang sosial dengan bertumpu pada pembangunan desa, di sektor pertanian dan perkebunan. Tentu saja, desa ini berupaya meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat melalui pembentukan kelompok-kelompok usaha rakyat, menggali potensi untuk meningkatkan kesejahteraan warga.
Mayoritas (86,08 persen) penduduk Desa Gunung Salak bekerja di sektor pertanian (tanaman pangan, perikanan dan peternakan, serta perkebunan dan tanaman hutan); perdagangan dan industri rumah tangga: hasil bumi, madu, kerajinan ukir, menjahit, tukang kayu dan seni lukis mencapai 0,54 persen; serta sektor lainnya seperti pegawai negeri, karyawan swasta dalam berbagai sektor sebesar 13,38 persen (Data Statistik Pemerintah Kabupaten Tabanan, 2014).
Potensi alam Desa Gunung Salak berupa perbukitan dan sawah berterasering (adventure, natural phanoramic), dan jenis-jenis perkebunan, didukung oleh potensi pertanian (agro-ecotourism, organic-agriculture, agrobisnis) berupa vanili, nanas, cokelat, cengkeh, kopi, sayur-sayuran, serta sumber-sumber mata air (spiritual healing, natural phanoramic).
Desa Gunung Salak memiliki tiga air terjun, yaitu Air Terjun Sing-sing di Banjar Dinas Apit Yeh, Air Terjun Tibu Sampi, dan Air Terjun Batu Sanghyang di Banjar Dinas Kemetug. Selain itu, mereka mencatat terdapat 12 mata air.
Jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Gunung Salak per tahun sebanyak 1.440 wisatawan nusantara dan sejumlah 2.160 wisatawan mancanegara yang datang untuk menginap. Sebagian besar wisatawan yang datang berkunjung hanya sebatas melihat-lihat pemandangan dan membuat dokumentasi di sekitarnya.
Nah, bagi Surjita beserta warga setempat, kedatangan mahasiswa KKN ini menguntungkan. Mereka ingin memikat wisatawan agar tinggal lebih lama dengan lancar menjadi pemandu wisata. Tentu saja menceritakan dengan bahasa Inggris. Hanya saja, mereka terkendala pengalaman dan wawasan.
Ternyata, mahasiswa KKN dari Universitas Udayana bersedia memberikan pelatihan berbahasa Inggris disesuaikan untuk kepentingan pariwisata setempat. Apalagi, dua tahun ini, desa ini tengah membangun 300 unit vila di tanah milik desa seluas 1.400 are.
”Desa tidak menjual tanah, tetapi mengerjasamakan ke pihak swasta untuk pengelolaan vila-vila ini. Tenaga kerja juga harus dari sini. Semua peraturan ini tercantum dalam awig-awig (peraturan) desa,” katanya.
Guna membantu desa, mahasiswa KKN menggelar beberapa program, seperti pelatihan teknik memandu wisata bagi calon guide lokal dan muda-mudi di Desa Gunung Salak, pelatihan bahasa Inggris praktis, pelatihan mengemas paket wisata pedesaan berbasis kearifan lokal, serta membuat kemasan paket wisata yang siap dipasarkan dalam bentuk brosur.
Dosen Pembimbing Lapangan KKN Universitas Udayana di Desa Gunung Salak yang juga dosen di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Ni Ketut Arismayanti, menjelaskan, KKN masa kini harus mampu memberikan suatu kegiatan intrakurikuler wajib yang memadukan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan metode pemberian pengalaman belajar dan bekerja kepada mahasiswa dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat.
KKN masa kini harus mampu memberikan suatu kegiatan intrakurikuler wajib yang memadukan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan metode pemberian pengalaman belajar dan bekerja kepada mahasiswa dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Program KKN-PPM dilaksanakan selama 1 bulan dan 1 minggu, lanjutnya, dengan program-program yang dilaksanakan meliputi pemberdayaan masyarakat desa melalui pelaksanaan tematik revolusi mental, infrastruktur permukiman, dan pemberdayaan pembelajaran masyarakat sesuai potensi desa yang ada.
Salah satunya dilaksanakan di Desa Gunung Salak. Hal ini disesuaikan dengan tema KKN tahun ini, ”Pemberdayaan Masyarakat melalui Peningkatan Partisipasi Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan Pariwisata”.
”Mahasiswa harus mampu berbaur dan memberikan manfaat bagi desa yang didatangi. Mereka melaksanakan berbagai kegiatan pelatihan berupa pelatihan teknik memandu wisata, cara mengemas paket wisata, digital marketing, dan bahasa Inggris praktis,” ujar Arismayanti.
Selain itu, lanjutnya, juga praktik dan menggali potensi kuliner lokal, manajemen homestay, manajemen desa wisata dengan menyasar kelompok-kelompok yang ada di desa, seperti perangkat desa, tokoh masyarakat, BUMDes, STT, ibu-ibu PKK, pelaku pariwisata, dan masyarakat yang tertarik mengelola homestay.
Setelah mereka berbaur di desa itu, mahasiswa membantu membuat video keindahan alam Gunung Salak yang diunggah di Youtube. Video ini merupakan bagian dari upaya promosi.
”Jangan sampai pariwisata sudah telanjur berkembang, tapi masyarakat ternyata belum siap. Buku panduan wisata dan brosur sengaja dibuat dalam dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) agar bisa dijadikan panduan bagi generasi muda desa yang tertarik menjadi pemandu lokal yang tergabung dalam kelompok sadar wisata di desanya. Wisatawan yang berkunjung sebagian besar wisatawan Eropa, khususnya Belanda,” tutur dosen ekonomi pariwisata itu.
Maka, bagi Sujirta dan Arismayanti, kolaborasi warga dan mahasiswa KKN sebulan seminggu sejak Agustus 2018 harus mampu memberikan kerja nyata yang bermakna agar tak hanya menjadi pelengkap syarat kelulusan seorang mahasiswa. Desa wisata Bali membutuhkan ide-ide segar dari pemuda dan pemudinya.
”Ya, kalau boleh meminta, desa ini masih membuka dan membutuhkan mahasiswa-mahasiswa lain yang ingin kerja nyata di sini,” kata Sujirta mengakhiri obrolan.