Menjelang Kanonisasi Uskup Romero, Pembela Kaum Miskin
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·4 menit baca
Oscar Romero, uskup El Salvador yang terbunuh secara keji 38 tahun silam, akan dikanonisasi menjadi seorang santo oleh Paus Fransiskus, Minggu (14/10/2018). Semasa hidupnya, Romero adalah orator ulung yang menggunakan mimbar untuk mengecam penindasan militer yang merajalela dan ketidakadilan sosial. Sebagai Uskup San Salvador, Romero muncul sebagai ”suara bagi mereka yang bungkam dan dibungkam” selama konflik sosial dan politik yang intens di negara El Salvador.
Dia adalah seorang pembela yang vokal bagi kaum miskin dan korban penindasan pemerintah. Ia seorang pengecam sejumlah aksi pembunuhan oleh regu senyap kelompok sayap kanan di negara Amerika Tengah yang tengah bergolak kala itu akibat protes terhadap kecurangan pemilu. Romero yang saat itu berusia 62 tahun ditembak tepat di jantung oleh seorang penembak jitu pada 24 Maret 1980. Penembakan terjadi saat dirinya tengah memimpin perayaan misa malam di kapel rumah sakit kanker tempat ia tinggal.
Dia adalah seorang pembela yang vokal bagi kaum miskin dan korban penindasan pemerintah.
Kematiannya mengirimkan gelombang kejut ke seluruh dunia dan kekerasan yang meningkat di El Salvador. Kondisi itu kemudian berkembang menjadi perang saudara selama 12 tahun antara serangkaian pemerintah yang didukung Amerika Serikat dan pemberontak sayap kiri. Konflik itu diperkirakan mengakibatkan hilangnya 75.000 jiwa sebelum berakhir dengan perjanjian damai pada tahun 1992.
”Dia berani dan rendah hati. Dia tetap demikian di tengah-tengah penganiayaan dan ancaman dari yang kuat, bahkan dari beberapa pemimpin agama di negara ini, termasuk bahkan dari Vatikan,” kata teolog Yesuit Jon Sobrino.
Sobrino, yang dikenal karena kontribusinya pada teologi pembebasan—menggabungkan teologi Kristen dengan unsur-unsur Marxisme yang menekankan pembebasan politik bagi orang-orang tertindas—mengatakan, Romero bahkan tak pernah menjadi bagian dari gerakan kontroversial itu.
Romero adalah seorang agitator yang tak kenal lelah bagi orang miskin, yang membawanya ke dalam konflik reguler dengan pemerintahan sayap kanan, dan hierarki Katolik, yang menganggapnya terlalu politis. ”Gereja yang tidak terjangkau sebagaimana diucapkan Paus adalah hal sangat nyata di sini, di El Salvador pada 1970-an dan 1980-an. Beberapa imam dibunuh, dibunuh oleh orang-orang yang juga menghadiri ekaristi,” kata Sobrino.
Kritik terhadap Romero menyebutkan, ia dituduh mendukung kekerasan, komunisme, dan bahkan menyebarkan bidaah. Namun, pada saat sama, dirinya dipuji orang lain juga karena alasan yang sama.
Gereja yang tidak terjangkau sebagaimana diucapkan Paus adalah hal sangat nyata di sini, di El Salvador pada 1970-an dan 1980-an. Beberapa imam dibunuh, dibunuh oleh orang-orang yang juga menghadiri ekaristi.
Gerakan untuk menjadikan Romero seorang santo telah lama ditentang umat Katolik konservatif dan pembela hak-hak warga El Salvador. Mereka menilai ada yang terselubung terkait Marxisme dalam khotbah-khotbahnya yang memuji orang-orang miskin dan siaran radio yang mengecam penindasan pemerintah.
Petisi itu mandek selama bertahun-tahun di Kongregasi Vatikan untuk Pemilihan Orang-orang Suci. Hingga akhirnya ada semacam perkembangan di bawah pimpinan Paus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus, yang menamai Romero seorang martir bagi Gereja sebagai salah satu jalan menuju kesucian.
Ketika dia dibeatifikasi pada tahun 2015, satu langkah menuju kanonisasi, Romero digambarkan Presiden AS Barack Obama sebagai sumber inspirasi dan ”lelaki pemberani yang gigih dalam menghadapi oposisi dari kedua sisi yang ekstrem”. Dalam pembelaannya yang keras terhadap orang miskin dan yang dianiaya, Romero ”tetap sendiri,” kata adiknya Gaspar Romero. Dia ingat bahwa para uskup yang didukung pemerintah lainnya pergi ke Roma untuk meminta agar dia dicopot sebagai uskup agung.
Dua pekan sebelum pembunuhannya, Romero menemukan koper bom di basilika tempat dia memimpin misa dan berhasil menjinakkannya. Sehari sebelum pembunuhannya, dia membuat seruan dramatis untuk tentara di militer, banyak dari mereka petani, untuk tidak mematuhi perintah menembak orang. ”Saya mohon, saya mohon. Saya memerintahkan Anda dalam nama Tuhan, hentikan represi.”
Romero lahir pada 15 Agustus 1917 di Ciudad Barrios, kota perkebunan kopi, 100 mil (160 kilometer) timur laut San Salvador. Pada 1931, ia memasuki seminari menengah di kota San Miguel, dan pada akhir 1930-an pergi ke Roma untuk belajar teologi.
Ia ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1942. Dia naik pangkat, dari uskup auksilier ke uskup, sebelum akhirnya menjadi uskup agung San Salvador pada tahun 1977. Pada usia 59 tahun, ia dikenal karena konservatismenya dan mendapat dukungan dari pihak berwenang, tetapi tidak memiliki kepercayaan dari para pemimpin progresif. (AFP)