Memahami Teater Boneka
Naga kecil bernama Asta itu selalu tampak murung. Sikapnya sangat kontras dengan tampilan tubuhnya yang berwarna-warni melambangkan keceriaan. Kepada ibunya, Asta terus-menerus mengeluh, karena ia menjadi satu-satunya naga yang tak bisa menyemburkan api.
Sang ibu berusaha menghibur. Ia menyanyikan lagu ceria agar Asta tak merengut lagi. Buku mantra pembuat ramuan untuk menyemburkan api pun diberikan. Namun, Asta tak kunjung bisa melakukan aksi khas para naga itu. Hingga suatu saat, Asta mampu mengeluarkan semburan-semburan kecil dari mulutnya setelah mendapatkan pelukan hangat dari sang ibu.
Namun, alih-alih api, yang keluar dari mulut Asta justru bunga beragam warna. Asta kagum melihat bunga-bunga tersebut dan akhirnya menyadari, dirinya bukan naga penyembur api. Sejak saat itu, Asta mulai berbagi kebahagiaan kepada orang-orang dengan menyemburkan bunga-bunga indah.
Kisah itu merupakan bagian dari pertunjukan ”Astaga Naga!!” oleh kelompok ABC (Aio Bersama Cemprut) yang digelar di kafe Java Poetry, Yogyakarta, Jumat (12/10/2018). Pertunjukan itu menjadi salah satu suguhan dalam Pesta Boneka #6 yang digelar 12-14 Oktober di sejumlah tempat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Selain di Java Poetry, pertunjukan Pesta Boneka #6 juga digelar di Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta, dan Dusun Kepek, Desa Timbulharjo, Kabupaten Bantul, DIY.
Pesta Boneka merupakan festival teater boneka internasional yang digelar tiap dua tahun sejak 2008 silam. Papermoon Puppet Theatre, kelompok teater boneka dari Yogyakarta, merupakan inisiator dan penyelenggara festival tersebut. Tahun ini, Pesta Boneka mengambil tema ”The Journey” dan diikuti 29 partisipan dari 16 negara. Selain dari Indonesia, partisipan Pesta Boneka #6 berasal dari Amerika Serikat, Thailand, Perancis, Jerman, Brasil, Jepang, Malaysia, Polandia, Kanada, Argentina, Filipina, Vietnam, Inggris, Singapura, dan Australia.
”Dibanding tahun-tahun sebelumnya, Pesta Boneka tahun ini paling banyak partisipannya,” kata pendiri Papermoon Puppet Theatre, Maria Tri Sulistyani atau akrab dipanggil Ria, Selasa (9/10), di Yogyakarta.
Menurut Ria, Pesta Boneka merupakan ajang untuk mempertanyakan kembali konsep atau pemahaman mengenai teater boneka. Melalui festival tersebut, Papermoon Puppet Theatre ingin mengubah citra teater boneka yang selama ini lekat dengan seni boneka tradisional atau hiburan untuk anak-anak. Oleh karena itu, sejumlah partisipan yang tampil dalam acara tersebut justru bukan berasal dari latar belakang teater boneka.
”Festival ini intinya mempertanyakan apa itu teater boneka. Jadi, yang pentas itu tidak semuanya seniman teater boneka. Ada penari, ada musisi, ada ilustrator, pembuat film animasi, seniman pantomim,” ungkap Ria.
Dengan konsep semacam itu, tidak semua partisipan di Pesta Boneka #6 menghadirkan ”boneka” dalam pengertian konvensional. Ria menyebut, ia dan teman-temannya lebih memahami teater boneka sebagai seni untuk memanipulasi atau menghidupkan obyek. Oleh karena itu, obyek yang menjadi titik sentral pertunjukan teater boneka tidak harus berwujud ”boneka” dalam pemahaman konvensional.
Tak konvensional
Salah satu partisipan Pesta Boneka #6 yang tak berasal dari latar belakang teater boneka adalah ABC. Kelompok ini terdiri atas dua orang, yakni Ariyo Zidni yang merupakan pendongeng dan Aprodita Wibowo yang merupakan pembuat boneka kain.
Dalam pentas ”Astaga Naga!!”, keduanya berkolaborasi membuat pertunjukan dengan memanfaatkan boneka yang dibuat dari kaus kaki. Meski bukan seniman teater boneka, Ariyo dan Aprodita mampu membuat pertunjukan yang cukup berwarna dan menghibur.
”Saya sebenarnya bukan seniman teater boneka. Saya hanya perajin boneka. Tetapi, setelah diminta ikut tampil di sini, saya merasa boneka yang saya buat ini seakan bernyawa karena berkomunikasi dengan penonton,” ujar Aprodita.
Pertunjukan ”Travelling Light” oleh seniman teater boneka asal Inggris, Rosy Thurston, juga tak kalah menarik karena tidak hanya menampilkan ”boneka” dalam pengertian konvensional. Di awal pertunjukan yang berkisah tentang pengelana yang tersesat itu, Rosy masuk panggung membawa koper merah. Dari dalam koper itu, ia mengeluarkan berbagai macam barang, misalnya teko, koin, dan batu.
Koper itu juga digunakan Rosy sebagai layar untuk memutarkan video dan foto tentang tempat-tempat di seluruh penjuru dunia. Penonton yang dibatasi hanya 30 orang itu seolah diajak tersesat bersama saat berkeliling dunia. Yang menarik, segala benda, foto, video, maupun musik yang disajikan dalam pertunjukan itu berasal dari 86 negara.
Dalam pertunjukan itu, Rosy memang masih menampilkan boneka berbentuk manusia. Namun, boneka yang ia bawa itu tak dibuat dari bahan-bahan yang konvensional. Badan boneka itu, misalnya, terbuat dari tas asal Taiwan, sementara tangannya terbuat dari sendok asal Hong Kong dan pena asal Slovenia.
Untuk mendapat bahan pertunjukan itu, Rosy membuat situs, mengajak orang-orang mengirimkan berbagai barang kepadanya. ”Pementasan ini datang dari benda-benda dan semua yang orang katakan kepada saya,” ucap Rosy.
Rosy menambahkan, dalam pertunjukan itu ia mencoba mempertanyakan soal dunia yang kian terhubung berkat internet. Inspirasi pertunjukan itu datang dari pengalamannya berkelana dan hidup di berbagai negara sejak enam tahun terakhir.
”Saya sangat menikmati tinggal di berbagai wilayah dengan budaya yang berbeda-beda. Ide di belakang ini adalah mempertanyakan dunia yang makin terhubung. Kesempatan yang diberikan internet apakah benar-benar membuat kita bisa berinteraksi dengan seisi dunia?” kata Rosy.
Pertunjukan menarik lainnya dihadirkan Tom Lee dan Lisa Gonzales dari Amerika Serikat. Melalui pentas bertajuk ”Place (No) Place”, keduanya mencoba menyuguhkan kenangan tentang tempat yang mungkin pernah diketahui oleh para penonton. Pertunjukan ini menarik karena mengombinasikan antara teater boneka, film, dan tarian. Kolaborasi ini dimungkinkan karena Lisa adalah seorang penari.
Rekaman langsung kamera video digunakan untuk memulai pertunjukan. Kamera itu seakan menjadi mata dari boneka yang digerakkan. Dalam salah satu adegan, boneka itu memasuki rumah sehabis banjir. Di rumah itu, genangan air dan benda-benda barang berserakan tampak begitu detail lewat kamera itu.
”Kamera adalah media yang bagus untuk memulai suatu pertunjukan. Ini membantu penonton mengeksplorasi memori. Terlebih jika ini direkam secara langsung saat pertunjukan. Ini memberikan kesan benda-benda yang ada di hadapan kita hidup dan kita sedang mengalaminya,” ujar Tom.
Pesta Boneka #6 cukup berhasil mencapai visi untuk mempertanyakan lagi pemahaman ihwal teater boneka. Mulanya, mungkin sebagian penonton terkejut melihat pentas-pentas itu. Namun, pada akhirnya, mereka akan memahami, teater boneka punya begitu banyak ragam yang tak bisa diringkus dalam pemahaman tunggal. Pemahaman yang kadung jadi konvensional.