Pemanfaatan teknologi finansial atau tekfin diyakini mampu memperluas cakupan dan jangkauan pasar layanan keuangan syariah. Namun, alternatif ini sebaiknya diikuti kerangka strategi industri dalam jangka panjang.
BADUNG, KOMPAS — Strategi dibutuhkan untuk memastikan penerapan tekfin berdampak masif bagi perekonomian. Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nurhaida dalam ”OJK Fintech Talk” di Jimbaran, Kabupaten Badung, Bali, Jumat (12/10/2018), berpendapat, Indonesia belum mengoptimalkan layanan pasar keuangan syariah meski memiliki populasi penduduk Muslim terbesar di dunia. Aset perbankan syariah, misalnya, baru 5,8 persen dari total aset industri perbankan nasional.
Dengan mempertimbangkan situasi itu, OJK mendorong pemanfaatan tekfin, seperti tekfin peminjaman. Menurut Nurhaida, hal terpenting untuk mengejar tujuan itu saat ini adalah meningkatkan literasi keuangan syariah dan cara kerja tekfin.
Sejauh ini dia menilai ada kesamaan konsep yang dilakukan oleh pelaku layanan keuangan syariah dan tekfin, yakni bagi hasil. OJK mencari masukan dari berbagai pihak, termasuk melalui diskusi OJK Fintech Talk, untuk memudahkan realisasi inisiatifnya.
Terkait tekfin peminjaman, data OJK per September 2018 menyebutkan, dua di antara 70 perusahaan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi menganut prinsip keuangan syariah.
Vice President Knowledge Management and Sustainable Development Bank Pembangunan Asia (ADB) Bambang Susantono berpandangan senanda. Tekfin berpotensi menumbuhkan industri keuangan syariah. Di pasar berkembang metode pembayaran zakat dengan aplikasi tekfin, seperti uang elektronik dan kode cepat pembayaran (QR code payment). ”Harus dipastikan bagaimana model bisnis tekfin memenuhi kaidah keuangan syariah. Lainnya, proteksi data pribadi konsumen,” katanya.
Director General of Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank (IDB) Humayon Dar berpendapat, tekfin memang punya potensi mendorong pertumbuhan industri keuangan syariah. Namun, skala peran yang tekfin lakukan lebih tepat menyasar ke urusan mikro. Contohnya, penyaluran pinjaman ke pelaku UMKM.
Di luar itu, Humayon menekankan pentingnya para pelaku industri keuangan syariah memiliki kerangka besar terlibat dalam capaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG\'s). Dengan demikian, skala peran industri menjadi lebih besar dan dampaknya pun masif.
”Peluang menggarap kebutuhan pendanaan proyek infrastruktur semestinya digarap lebih. Kami mengapresiasi beberapa pemain sudah mulai mau mendistribusikan sukuk syariah untuk proyek itu,” katanya.
Mengutip Islamic Finance Bulletin edisi 31 Januari 2018 yang diterbitkan Bank Dunia, volume aset industri keuangan syariah akan mencapai 3,8 triliun dollar AS pada 2022, naik dari 2,2 triliun pada akhir 2016. Kenaikan dipicu oleh mulainya kesadaran pelaku industri keuangan syariah dan pemerintah terlibat menumbuhkan industri melalui regulasi baru.
Nilai penerbitan sukuk syariah naik dari 67,4 miliar dollar AS pada 2016 menjadi 97,9 miliar dollar AS pada 2017. Peningkatan ditopang penerbitan jumbo dari negara teluk dan negara yang mulai menggeliatkan jasa keuangan syariah.
Berkelanjutan
Profesor di Columbia University, Joseph E Stiglizt, dalam diskusi Future Finance memandang, teknologi digital dapat dipakai meningkatkan kesetaraan di kalangan masyarakat. Contohnya, pemerataan akses layanan jasa keuangan.
Demi mendukung pembangunan berkelanjutan, dia menekankan sisi lain teknologi digital, yakni kaburnya batas privasi data. Beberapa perusahaan teknologi di Amerika Serikat mengumpulkan data konsumen, menggunakannya untuk kepentingan sendiri, bahkan menjual data itu ke pihak lain. Oleh karena itu, pemerintah suatu negara semestinya mempunyai peraturan perlindungan data pribadi.
Di luar teknologi digital, pembangunan berkelanjutan perlu kebijakan makro ekonomi yang tangguh sehingga mampu menjaga volatilitas keuangan.
Mengutip laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), CEO Climate Bond Initiative Sean Kidney mengatakan, pemanasan global bergerak cepat. Jika tidak ada pencegahan, dunia akan mengalami krisis iklim, krisis lain di luar potensi krisis ekonomi.
Menurut dia, Indonesia memang belum memiliki sikap sampai ke sana. Namun, dia mengapresiasi langkah OJK yang telah menerbitkan peraturan penerbitan dan persyaratan efek bersifat uang berwawasan lingkungan atau green bonds. Cara ini dinilai membangun kepedulian investor.