JAKARTA, KOMPAS – Pemanfaatan potensi kawasan Wallacea belum optimal, baik dari sisi ilmu pengetahuan maupun nilai ekonominya. Salah satu potensi bernilai ekonomi tinggi yang menunggu dikembangkan adalah wisata minat khusus menyaksikan satwa endemis Wallacea di alam liar. Di satu sisi, gerakan penyadaran publik tentang pentingnya menjaga keragaman hayati kawasan Wallacea sangat diperlukan.
Demikian yang mengemuka dalam sejumlah diskusi pada penyelenggaraan Wallacea Week 2018, Kamis (11/10/2018), di Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan British Council, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dengan tema Merawat Wallacea, Merawat Indonesia. Sejumlah nara sumber utama dalam acara tersebut adalah ilmuwan dari AIPI, pakar kuliner, pakar sejarah, serta pakar budaya, dari dalam dan luar negeri.
Pakar ilmu lingkungan dan biologi pada Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, mengatakan, 90 persen fauna di kawasan Wallacea sangat khas, unik, dan tidak ditemukan di wilayah lain di dunia. Keunikan itu berupa percampuran antara satwa-satwa dari wilayah Asia dan Australia. Proses pembentukan Pulau Sulawesi, yang merupakan bagian penting kawasan Wallacea, turut memengaruhi terciptanya spesies-spesies unik yang sulit ditemukan di tempat lain.
"Keragaman hayati kawasan Wallacea bisa jadi modal berharga. Sayangnya, kita sendiri kurang pandai memanfaatkan atau mengoptimalkan potensi tersebut," kata Jatna.
Jatna mencontohkan, di negara lain, untuk melihat gorila di habitat aselinya, pengunjung mesti membayar hingga 100 dollar AS. Sebaliknya, untuk menyaksikan tarsius (primata endemis kawasan Wallacea) di alam liar di Indonesia, misalnya, pengunjung hanya perlu membayar beberapa ribu rupiah saja. Ia menyebut bahwa potensi keragaman hayati kawasan Wallacea bisa menjadi modal penggerak ekonomi lokal di masa mendatang.
Direktur Unit Penelitian Terumbu Karang dari Universitas of Essex, David J Smith, menambahkan, tak hanya kekayaan keragaman di darat, kawasan Wallacea juga memyimpan kekayaan luar biasa di lautan. Jenis ikan dan terumbu karang di laut Wallacea luar biasa beragam. Dari sisi ilmu pengetahuan, laut di kawasan Wallacea ibarat laboratorium alam raksasa yang menunggu untuk terus digali.
"Hanya saja, ada ancaman serius terhadap keragaman biota laut di kawasan Wallacea. Ancaman itu berupa penangkapan ikan secara berlebihan, pengeboman terumbu karang, pembuangan sampah dan limbah ke laut," ucap David.
Menggali potensi
Ketua AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, upaya mengingat kembali dan mengkaji peninggalan Wallace merupakan usaha yang terus-menerus untuk menggali potensi yang ada di Indonesia. Lantaran ada keterikatan yang kuat antara keragaman budaya dan hayati di kawasan Wallacea, partisipasi publik dalam melestarikan keragaman di kawasan Wallacea tersebut menjadi perhatian utama.
"Pada penyelenggaraan Wallacea Week 2017 sudah diangkat tema kisah hidup Wallace dan gagasan evolusinya, sehingga tercipta jalur flora dan fauna di kawasan Wallacea. Kali ini, tema yang diangkat seputar makanan dan nutrisi, konektivitas, dan upaya pelestarian keragaman di kawasan Wallacea," ucap Satryo.
Direktur British Council Indonesia Paul Smith menambahkan, kawasan Wallacea menjadikan Indonesia pemegang peran penting dalam isu keberagaman. Indonesia perlu terus melanjutkan peran tersebut agar dapat menginspirasi tidak hanya masyarakat Indonesia sendiri, tetapi juga seluruh dunia untuk secara aktif menggali potensi budaya dan keanekaragaman hayati.
Kawasan Wallacea terletak di kepulauan Indonesia bagian timur sekaligus menjadi laboratorium hidup terbesar di dunia yang ada di Indonesia, ditemukan oleh Alfred Russel Wallace, seorang penjelajah dan naturalis Inggris. Pada 1854-1862, Wallace melakukan penjelajahan ilmiah dan mendokumentasikan perjalanannya ke dalam buku berjudul The Malay Archipelago. Tahun depan adalah tepat 150 tahun terbitnya karya fenomenal Wallace tersebut.