Daya Saing Rendah, Investasi Sumber Daya Manusia Harus Ditingkatkan
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS – Indeks sumber daya manusia atau Human Capital Index Indonesia semakin baik, pada 2012 di angka 0,50 dan tahun ini di angka 0,53. Meskipun begitu, investasi sumber daya manusia Indonesia, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan, harus lebih ditingkatkan agar daya saing manusia Indonesia meningkat.
Daya saing sumber daya manusia Indonesia masih rendah. HCI diejawantahkan dalam skala 0-1. Dengan HCI 0,53, sumber daya manusia Indonesia hanya bisa menikmati 53 persen dari seluruh potensi ekonomi yang ada. Ini juga berarti saat ini anak-anak Indonesia kehilangan 47 persen potensi ekonomi di masa mendatang.
Dengan HCI 0,53, Indonesia berada di peringkat ke-87 dari 157 negara dalam HCI. Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Filipina dengan HCI berada di angka 0,55, Thailand (0,60), Malaysia (0,62), dan Vietnam (0,67). Adapun HCI tertinggi adalah Singapura (0,88), disusul Jepang dan Korea Selatan (masing-masing 0,84).
“Investasi untuk sumber daya manusia menjadi penting karena perkembangan teknologi yang cepat dipastikan dapat menggantikan pekerjaan manusia yang memiliki keterampilan rendah,” ujar Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim dalam peluncuran HCI pada Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/10/2018).
Kesehatan dan pendidikan
Bank Dunia meluncurkan indeks sumber daya manusia sebagai indikator potensi kualitas manusia di suatu negara. Indeks ini menjadi acuan pembangunan sumber daya manusia secara berkelanjutan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Manusia Berkelanjutan (SDGs) seluruh negara.
Kim mengatakan, indeks ini dimunculkan untuk membantu setiap negara anggota membangun kapasitas warganya. Indeks tersebut, akan memberikan data yang akurat kepada pemerintah untuk memberikan regulasi dan kebijakan yang lebih baik dalam hal kesehatan dan pendidikan pada anak-anak.
Pengukuran HCI sangat dipengaruhi oleh kualitas kesehatan dan pendidikan di setiap negara. Untuk mengukur kesehatan, Bank Dunia menghitung jumlah rata-rata jumlah bayi di suatu negara yang mampu bertahan hidup sampai usia 5 tahun, dan jumlah anak penderita stunting (kondisi tubuh pendek akibat kurang gizi kronis).
Tingginya angka stunting di Indonesia yang sekitar 9 juta anak (lebih dari 1 dari 3 anak balita), membuat daya saing ekonomi lemah. Pasalnya, anak dengan stunting mengalami defisit kognitif dan saat dewasa berisiko kena penyakit menular. Selain masalah stunting, ada 2 dari 3 anak di Indonesia tak menjalani imunisasi lengkap.
Adapun dalam mengukur pendidikan, Bank Dunia menghitung rata-rata jumlah tahun sekolah warga di suatu negara saat berusia 18 tahun. Selain itu, Bank Dunia juga mengukur jarak rata-rata dari permukiman ke sekolah.
Pekerjaan rumah
Kim menilai pemerintah Indonesia sudah melakukan hal tepat untuk investasi SDM, terlihat dari alokasi APBN untuk dana pendidikan sebesar 20 persen. Namun, alokasi APBN untuk dana kesehatan baru di kisaran 5 persen.
“Pemerintah Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan anggaran uang kesehatan dan pendidikan,” ujar Kim. Jika pertumbuhan anak-anak suatu negara tidak dapat memenuhi kebutuhan industri, maka negara itu tidak akan mampu mempekerjakan warganya dan kehilangan daya saing dalam ekonomi global.
Sementara itu, ekonom utama Bank Dunia untuk Indonesia, Frederico Gil Sander menilai daya saing sumber daya manusia Indonesia masih di bawah negara-negara tetangga. Padahal tingkat partisipasi sekolah di Indonesia memang telah tumbuh signifikan.
“Hanya dengan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran, lulusan pendidikan menengah dan tinggi akan memiliki keterampilan yang diperlukan untuk terserap industri 4.0,” kata Sander.