BARABAI, KOMPAS – Sejumlah warga menggelar istighosah di halaman Masjid Agung Riyadhusshalihin, Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Kamis (11/10/2018). Doa bersama itu menjadi bagian aksi warga masyarakat setempat menolak pertambangan batubara di daerah Pegunungan Meratus.
Ali Fahmi selaku ketua pelaksana kegiatan mengatakan, istighosah merupakan bagian dari upaya penyelamatan Meratus. Upaya itu mendapat dukungan ulama, pimpinan pondok pesantren, dan organisasi keagamaan di Hulu Sungai Tengah. Mereka hadir pada kegiatan istighosah dan doa bersama yang dipimpin KH Mokhtar, pengasuh Pondok Pesantren Ibnul Amin, Pamangkih.
”Ini murni gerakan masyarakat yang peduli pada kelangsungan kehidupan di Bumi Murakata (julukan Hulu Sungai Tengah). Kami menggelar istighosah untuk menghindari kericuhan dalam aksi massa. Kegiatan semacam ini juga sesuai dengan ciri masyarakat Kalsel yang damai,” kata Fahmi.
Menurut Fahmi, masyarakat dan pemerintah daerah Hulu Sungai Tengah dengan tegas menolak pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Semuanya berkomitmen menjaga lingkungan Pegunungan Meratus. ”Meratus di hulu Barabai merupakan satu-satunya wilayah di Kalsel yang belum tersentuh pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.
Namun, saat ini, pertambangan batubara mengancam Pegunungan Meratus di Hulu Sungai Tengah setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Surat Keputusan Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Izin Operasi Produksi Tambang Batubara untuk PT Mantimin Coal Mining (MCM) di Kabupaten Tabalong, Balangan, dan Hulu Sungai Tengah pada 4 September 2017.
”Di Hulu Sungai Tengah, SK Kementerian ESDM itu mendapat penolakan. Ada 37.000 tanda tangan petisi penolakan tambang batubara di Hulu Sungai Tengah. Masyarakat menghendaki Meratus tetap lestari tanpa batubara dan sawit,” kata Rumli, koordinator Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (GEMBUK) Hulu Sungai Tengah.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Hulu Sungai Tengah Muhammad Yanni, Meratus merupakan sumber kehidupan bagi banyak jiwa. Hutan Meratus memberikan oksigen dan menyediakan air bagi manusia. ”Lebih dari 10.000 hektar lahan pertanian di Hulu Sungai Tengah mendapat sumber air dari hutan Pegunungan Meratus, yang merupakan hutan hujan terakhir yang dimiliki Kalsel,” katanya.
Jalur hukum
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel yang juga bagian dari gerakan #SaveMeratus telah menempuh jalur hukum. Walhi Kalsel menggugat Menteri ESDM dan PT MCM dengan tuntutan agar izin tambang tersebut dicabut.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono mengatakan, gugatan Walhi itu adalah gugatan lingkungan. Sidang gugatan sudah 17 kali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pada 22 Oktober mendatang, majelis hakim PTUN Jakarta akan membacakan putusan.
”Kami berharap keadilan memihak pada rakyat dan kelestarian Meratus karena Meratus di Hulu Sungai Tengah harus bebas dari batubara dan kelapa sawit,” kata Kisworo.
Direktur Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Juliade mengatakan, Pemkab Hulu Sungai Tengah harus melaksanakan komitmennya untuk tetap tidak memasukkan tambang batubara dalam penataan ruang wilayahnya jika Walhi menang dan izin tambang PT MCM dicabut.
Pemerintah juga harus memberikan akses kelola wilayah kepada masyarakat agar masyarakat ikut menjaga wilayah dan kelestarian hutannya. Masyarakat harus diberdayakan agar tidak ada keinginan untuk menyerahkan lahan ke perusahaan tambang.
”Namun, jika (Walhi) kalah, maka masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan berbagai pihak untuk menyelamatkan Meratus,” ujar Juliade.