Penyediaan pangan di masa depan berkejaran dengan pertumbuhan penduduk dunia yang bertambah kian cepat. Tak terkecuali Indonesia yang jumlah penduduknya bertambah 25 persen dari 207 juta jiwa tahun 1999 menjadi 259 juta jiwa tahun 2017. Tantangan akan semakin kompleks di masa depan.
Penduduk Indonesia diproyeksikan lebih dari 300 juta jiwa tahun 2033-2035. Pada saat yang sama, produksi pangan menghadapi tantangan luar biasa terkait perubahan iklim yang mengacaukan pola budidaya, penurunan kualitas lingkungan, serta alih fungsi lahan pertanian yang semakin masif. Lalu bagaimana penyediaan pangan Indonesia di masa depan?
Tekanan terhadap lahan pangan terus bertambah seiring pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan untuk keperluan nonpertanian. Sensus pertanian pada tahun 2003 dan 2013 menunjukkan, 508.000 hektar lahan pertanian di Pulau Jawa beralih kepemilikan dari rumah tangga petani ke nonpetani, sebagian besar (40 persen) terjadi pada lahan dengan luas kurang dari 0,1 hektar.
Situasi itu sejalan dengan jumlah rumah tangga pertanian yang berkurang dari 9,38 juta rumah tangga tahun 2003 menjadi 4,33 juta rumah tangga tahun 2013. Data lain, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian berkurang dari 20,05 juta jiwa menjadi 14,44 juta jiwa selama kurun 2008-2017.
Usaha pemerintah menambah lahan pertanian juga belum berjalan mulus. Program cetak sawah yang realisasinya diklaim mencapai 20.070 hektar tahun 2015, lalu bertambah jadi 129.096 hektar tahun 2016, tahun 2018 justru diturunkan targetnya jadi 12.000 hektar antara lain karena alasan anggaran.
Isu terkait lahan krusial bagi pangan nasional. Sebab, saat ini rata-rata luas lahan pangan per kapita Indonesia terbilang rendah. Dengan populasi 248,5 juta jiwa tahun 2012/2013 dan luas lahan pertanian pangan 14,1 juta hektar, rata-rata luas lahan pangan Indonesia hanya 568,7 meter persegi per kapita, jauh di bawah China yang 1.120 meter persegi per kapita, Thailand yang 5.225 meter persegi per kapita, atau Australia yang 26.264 meter persegi per kapita pada tahun yang sama. (Kompas, 14 Juni 2018)
Sejumlah pengamat, akademisi, dan pelaku usaha sektor pertanian menyoroti problem lahan terkait target Kementerian Pertanian mewujudkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia tahun 2045. Dalam peta jalan yang berulang dipaparkan Kementerian Pertanian, produksi padi, bawang merah, dan cabai ditargetkan dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri (swasembada) pada tahun 2016, lalu swasembada jagung tahun 2017, gula konsumsi dan bawang putih tahun 2018, lalu kedelai, gula industri, dan daging kurun tahun 2020-2026.
Peluang
Ironisnya, impor beberapa komoditas pangan justru cenderung naik pada kurun 2014-2017, seperti kedelai, gandum, dan gula tebu. Indonesia juga masih mengimpor beras dan jagung yang produksinya diklaim surplus. Klaim data produksi nyatanya belum ampuh meredam gejolak harga di pasar.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor nonmigas selama Januari-Juli 2018 mencapai 90,6 miliar dollar AS, naik 24,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sementara volumenya naik 12,6 persen menjadi 69,1 juta ton. Khusus barang konsumsi, nilainya mencapai 9,9 miliar dollar AS selama Januari-Juli 2018, naik 27,03 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Volume impor tujuh komoditas, yakni beras, jagung, kedelai, gandum, gula tebu, ubi kayu, dan bawang putih, naik dari 21,7 juta ton tahun 2014 menjadi 25,2 juta ton tahun 2017 (Kompas, 13/8/ 2018). Impor juga masih terjadi pada komoditas yang diklaim surplus dan menjadi program prioritas Kementerian Pertanian beberapa tahun terakhir, khususnya beras, jagung, dan kedelai.
Terlepas dari kemelut soal akurasi data, gejolak harga di pasaran, serta kecenderungan naiknya impor pangan, ada realitas bahwa kebutuhan pangan tak pernah surut. Selain jumlah penduduk yang terbilang besar, kebutuhan pangan nasional bakal semakin beragam seiring bertambahnya jumlah kelas menengah.
Bank Dunia menyebutkan, setidaknya 52 juta jiwa dari total 259 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong kelas menengah di akhir tahun 2017. Mereka berkontribusi sekitar 43 persen dari total konsumsi rumah tangga Indonesia. Oleh karena itu, penyediaan pangan ke depan tak lagi sekadar memenuhi jumlah, tetapi juga menyangkut mutu, standar gizi, dan gaya hidup.
Situasi itu menjadi peluang investasi sekaligus tantangan bagi pemerintah terkait kebijakan pangan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi di sektor tanaman pangan dan perkebunan terus naik, yakni dari Rp 21,8 triliun tahun 2013, lalu Rp 36,4 triliun tahun 2014, Rp 37,9 triliun tahun 2015, kemudian melonjak jadi Rp 42,8 triliun tahun 2016, Rp 41,2 triliun tahun 2017, dan selama kurun Januari-Juni 2018 tercatat Rp 28,1 triliun.
Selain terus naik, investasi di sektor pangan dan perkebunan juga tercatat sebagai salah satu yang terbesar, selain sektor transportasi dan telekomunikasi, industri makanan, pertambangan, serta listrik, gas, dan air. Namun, sebagian besar atau lebih dari 60 persen investasi sektor pertanian tahun 2012-2016 terfokus pada subsektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. Namun, investasi di subsektor tanaman pangan dan hortikultura relatif kecil. Padahal, selain jadi kebutuhan pokok, tanaman pangan yang menyumbang defisit neraca perdagangan. Ironisnya, defisit turut disumbang oleh impor komoditas yang diklaim surplus, seperti beras dan jagung.
Selain memastikan pemacuan produksi dan target swasembada berjalan dengan baik, penting bagi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Upaya membantu petani kecil memperbaiki kesejahteraan diyakini bakal menggerakkan ekonomi desa lebih kencang.