JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha kini merasakan dampak pelemahan nilai tukar rupiah, tetapi menerapkan berbagai strategi dalam menghadapinya. Hanya saja, strategi itu bersifat sementara sebelum harga barang naik.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah telah menyentuh angka Rp 15.000 per dollar AS sejak 3 Oktober 2018. Pada Kamis (11/10/2018), nilai tukar rupiah Rp 15.253 per dollar AS.
Salah satu penyebab utama pelemahan rupiah ialah penaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve System, secara bertahap selama 2018. Kenaikan itu membuat dana investasi portofolio berpindah ke AS.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman, di Jakarta, Kamis, menyampaikan, pelaku usaha telah merasakan dampak pelemahan nilai tukar rupiah itu. ”Harga bahan baku pokok yang diimpor telah naik 3-5 persen,” ucapnya.
Kendati demikian, para pelaku usaha skala besar memutuskan untuk belum menyesuaikan harga barang yang ada di pasar. Mereka lebih memilih margin keuntungan berkurang untuk saat ini.
Keputusan yang sedikit berbeda diterapkan pelaku usaha skala kecil dan menengah yang perlahan mulai menaikkan harga barang. Hal itu terjadi akibat keterbatasan dana dan sumber daya bahan baku sehingga tidak bisa menahan harga.
Adhi menilai, pelaku usaha cepat atau lambat akan melakukan evaluasi harga barang. Ditambah lagi, nilai tukar rupiah akan semakin melemah dengan adanya sinyal The Fed yang masih akan menaikkan suku bunga pada akhir 2018 dan 2019.
Pelemahan nilai tukar rupiah juga membuat iklim berbisnis menjadi tidak menentu.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah juga membuat iklim berbisnis menjadi tidak menentu. ”Terjadi saling sandera karena takut kursnya naik lagi, sedangkan bahan baku dibeli dan diimpor dalam dollar AS,” ucapnya.
Salah satu akibat dari ketidakpastian itu adalah pelaku usaha skala besar di sektor pertekstilan akhirnya menahan sejumlah produk masuk ke dalam pasar hingga nilai tukar menjadi stabil. Pelaku usaha, misalnya, bisa hanya menjual 10-20 persen hasil produksi. Sisa 80 persen disimpan di dalam gudang.
Hal itu dinilai tidak akan terlalu berpengaruh karena permintaan produk tekstil dan turunannya sedang menurun.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha TIK Nasional Soegiharto Santoso menyebutkan, perusahaan teknologi kebanyakan telah melakukan kebijakan lindung nilai (hedging) dalam menghadapi nilai tukar rupiah yang bergerak fluktuatif.
”Kami biasanya baru merasakan dampak pelemahan rupiah satu atau dua bulan setelahnya,” kata Soegiharto.
Sejauh ini, belum ada perubahan harga produk teknologi informasi yang dijual. Namun, beberapa pelaku usaha di sektor tersebut telah menyuarakan keresahan terkait hal itu akibat sebagian besar bahan baku atau produk akhir elektronik yang dijual merupakan barang impor.
Ia menyarankan, sudah saatnya pelaku usaha berhenti bergantung pada satu jenis mata uang dalam bertransaksi. Penggunaan satu mata uang saja akan rentan dengan gejolak ketika muncul ketidakpastian dalam perekonomian global.
”Pelaku usaha bisa menggunakan mata uang negara tujuan transaksi bisnis. Misalnya, jika berdagang dengan China gunakan renminbi, tidak perlu ditukar ke dollar AS,” lanjut Soegiharto.