NUSA DUA, KOMPAS – Secara umum pembiayaan program-program kesehatan di banyak negara di dunia termasuk Indonesia belum optimal. Peluang mendapatkan dana dari pengenaan cukai atas barang yang konsumsinya perlu dikendalikan pun belum dimanfaatkan maksimal. Padahal, langkah ini selain bisa menjadi sumber pembiayaan kesehatan sekaligus berperan sebagai instrumen untuk mencegah masyarakat dari penyakit.
Cukai atas produk hasil tembakau di Indonesia, misalnya, selama ini belum mampu mengendalikan konsumsi rokok. Jika pemerintah menetapkan tarif cukai yang tinggi, bukan hanya dana bagi hasil cukai yang meningkat tetapi prevalensi merokok pun bisa turun. Pemerintah mendapat tambahan dana untuk program kesehatan dari pungutan cukai, sementara masyarakat terhindar dari penyakit terkait rokok.
Jika pemerintah menetapkan tarif cukai yang tinggi, bukan hanya dana bagi hasil cukai yang meningkat tetapi prevalensi merokok pun bisa turun.
Demikian benang merah pertemuan yang dihadiri Menteri Kesehatan Nila Moeloek, para pejabat Kementerian Keuangan, perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), perwakilan sejumlah negara, juga perwakilan organisasi masyarakat sipil di Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018). Acara tersebut merupakan sesi paralel dengan pertemuan lainnya dalam rangka pertemuan IMF - Bank Dunia.
Frank Chaloupka, Profesor Riset bidang Kebijakan dan Administrasi Kesehatan dari University of Illinois, Chicago, memaparkan, pengenaan cukai terhadap sejumlah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan merupakan langkah yang efektif untuk menambah sumber pendapatan bagi pembiayaan kesehatan sekaligus menurunkan kasus penyakit tidak menular.
Di banyak negara tarif cukai rokok, minuman alkohol, dan minuman berpemanis yang tinggi akan menurunkan konsumsi tiga produk ini. Hal ini pada akhirnya akan membuat kasus kanker, penyakit kardiovaskular, diabetes, dan penyakit tidak menular lainnya menurun.
Di Perancis pada kurun waktu 1980-2010, misalnya. Ketika harga rokok terus naik konsumsinya menurun seiring waktu, kasus kanker paru pada penduduk kelompok usia 35-44 tahun pun menurun. Begitu juga dengan di Chile pada tahun 2000-2015. Pada kurun waktu itu, harga rokok terus naik dan di saat bersamaan prevalensi perokok muda pun terus menurun.
Sementara banyak penelitian dan perhitungan ekonomi menunjukkan, cukai yang tinggi pada minuman beralkohol telah secara signifikan menurunkan kecelakaan lalu lintas akibat mabuk, sirosis hati, kanker, penyakit kardiovaskular, kekerasan termasuk kejahatan lainnya, juga kecelakaan kerja, dan penularan penyakit menular seksual. Adapun cukai untuk minuman berpemanis telah menurunkan angka obesitas.
Menurut Chaloupka, industri kerap mengatakan bahwa pengenaan cukai yang tinggi akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan pengangguran. Hal ini dinilai terlalu berlebihan. Di Meksiko, contohnya, ketika penjualan minuman berpemanis turun enam persen pada 2014 akibat cukai, lalu turun delapan persen pada 2015, dan turun 11 persen pada semester pertama 2016, penjualan air minum dalam kemasan justru naik 5,2 persen. Ini kemudian memunculkan peluang bisnis baru.
Industri kerap mengatakan bahwa pengenaan cukai yang tinggi akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan pengangguran. Hal ini dinilai terlalu berlebihan.
Ketika kasus penyakit tidak menular turun karena pengenaan cukai, pemerintah pun mendapat tambahan dana untuk pembiayaan kesehatan. Anggaran untuk memperkuat asuransi kesehatan bagi rakyat miskin di Filipina telah naik dari 12,5 miliar peso tahun 2012 menjadi 43,9 miliar peso tahun 2016. Ini terjadi setelah pemerintah Filipina mendapat tambahan dana yang besar dari pengenaan cukai yang tinggi.
Membebani ekonomi
Koordinator Ekonomi Pengendalian tembakau WHO, Jeremias N Paul Jr, mengatakan, dunia kini menghadapi epidemi penyakit tidak menular yang membebani ekonomi. WHO memiliki panduan intervensi yang efektif yang bisa dilakukan negara di dunia, antar lain dengan penetapan cukai yang tinggi atas rokok, minuman beralkohol, juga minuman berpemanis.
Dunia kini menghadapi epidemi penyakit tidak menular yang membebani ekonomi.
“Penerapan cukai akan mengubah perilaku masyarakat yang pada akhirnya menghindarkan masyarakat dari faktor risiko penyakit tidak menular. Sayangnya, instrumen cukai ini masih belum dimanfaatkan optimal oleh negara di dunia,” kata Jeremias.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, mengatakan, ada tiga penyakit penyebab utama kematian di Indonesia, yaitu stroke (21 persen), penyakit kardiovaskular (12,9 persen), dan diabetes melitus dengan komplikasinya (6,7 persen). Penyakit-penyakit tersebut memberikan dampak sosial dan ekonomi yang besar terutama pada pembiayaan kesehatan pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Adapun pembiayaan penyakit terkait rokok menghabiskan enam persen dari total belanja kesehatan. Prevalensi merokok di Indonesia berada dalam tahap sangat mengkhawatirkan terutama pada laki-laki dan anak-anak. Hal ini mengakibatkan lebih dari 240.000 kematian setap tahunnya atau sektiar 660 setiap harinya. Fakta ini tidak hanya bencana kesehatan tetapi juga bencana ekonomi.
Pembiayaan penyakit terkait rokok menghabiskan enam persen dari total belanja kesehatan.
Penyakit tidak menular, seperti contohnya tiga penyakit tersebut, sebenarnya bisa dicegah dengan mengendalikan faktor risikonya. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan telah memberikan rekomendasi kepada kementerian lain khususnya Kementerian Keuangan untuk mengambil langkah yang progresif dalam pengendalian tembakau, antara lain, menyederhanakan klasifikasi tarif cukai, menaikkan tarif cukai di atas inflasi dan pertumbuhan ekonomi sehingga harga rokok tidak terjangkau untuk orang miskin, menghapus batasan tarif cukai produk tembakau maksimal 57 persen.
“Kenaikan Rp 50 per batang rokok akan menghasilkan lebih dari Rp 15 triliun yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat program JKN,” ujar Nila.
Kebijakan cukai rokok
Mewakili Menteri Keuangan, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, menyampaikan, kesehatan masyarakat dan tenaga kerja adalah elemen kunci ketika bicara masalah kebijakan cukai dan pajak.
Dengan mencontohkan berkurangnya industri rokok dari 1.200 menjadi 779 dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Suahasil menilai pemerintah telah berada dalam arah yang benar dalam kebijakan cukai rokok. Pengalokasikan sebagian dari pajak rokok untuk memperkuat JKN pun diharapkan bisa membuat program ini lebih terjamin dan berkelanjutan.
Terkait cukai rokok, Suahasil menginformasikan bahwa Kementerian Keuangan telah memiliki peta jalan. Salah satunya adalah penyederhanaan klasifikasi/kelas dari 10 menjadi delapan yang rencananya direalisasikan tahun 2019.
“Perlu upaya mengoptimalkan tarif cukai untuk menyeimbangkan antar target kesehatan masyarakat juga pembiayaan kesehatan,” ujarnya.