JAKARTA, KOMPAS - Perluasan trotoar di Jakarta bisa dilakukan dengan membongkar pagar pembatas gedung yang berada di tepi jalan. Sebagai gantinya, pemilik gedung dapat diberi insentif berupa keringanan terhadap aturan koefisien lantai bangunan (KLB) maupun koefisien dasar bangunan (KDB).
“Kawasan Sudirman-Thamrin bisa menjadi proyek percontohan pembongkaran pagar gedung untuk trotoar karena berada di sekitar area ring 1. Dari sisi keamanan, lebih mudah penanganannya saat terjadi kerusuhan misalnya,” ujar Aditya Wirawan Fitrianto, arsitek dan anggota Tim Sidang Pemugaran (TSP) DKI Jakarta, Selasa (9/10/2018).
Kini, di bilangan Sudirman-Thamrin, trotoar sudah lebih lebar dan nyaman bagi pejalan kaki. Beberapa fasilitas untuk disabilitas juga disediakan seperti ramp dan guiding block untuk tunanetra.
Ke depan, untuk menyediakan akses pejalan kaki, pemerintah juga bisa membongkar pagar pembatas gedung. Namun, pemerintah harus menawarkan insentif bagi para pemilik gedung yang mau membongkar pagarnya. Insentif itu bisa berupa keringanan atau penghapusan perhitungan KLB atau KDB, atau pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Peningkatan kualitas trotoar ini penting untuk menarik orang berjalan kaki dan menggunakan angkutan umum. “Ketika trotoar sudah lebar dan pejalan kaki merasa nyaman, orang pasti mau berjalan kaki dan naik angkutan umum,” kata Aditya.
Warisan masa lalu
Aditya mengatakan, dilihat dari perkembangan kota Batavia sebelum kemerdekaan, gedung-gedung di kawasan kota tua sebenarnya sudah menyediakan selasar-selasar yang bisa digunakan oleh pejalan kaki.
Tak hanya di pusat kota Batavia, di sekitar Jalan Juanda dan Pasar Baru, Jakarta Pusat, juga tersedia trotoar. Sebuah arsip foto lama tahun 1900-an menunjukkan trotoar di Jalan Juanda berada di pinggir aliran kali.
Sejak tahun 1970-an, pembangunan di Jakarta justru semakin berorientasi pada mobil (car oriented). Saat itu, terlihat pembangunan kota Jakarta lebih berkiblat pada tren di Amerika Serikat. Pembangunan tidak berpihak pada pejalan kaki dan pengguna transportasi umum massal. Hampir seluruh bangunan kantor dan komersial menerapkan prinsip Garis Sempadan Bangunan (GSB). Akibatnya, trotoar minim dan terkadang masih diokupasi pihak lain.
Lalu, perubahan pola pikir pemerintah mulai terlihat lima tahun terakhir. Ada program revitalisasi dan pelebaran trotoar. Selain itu, pemerintah juga mulai membangun infrastruktur transportasi umum massal seperti kereta massal cepat (MRT) dan kereta ringan (LRT).
Untuk menunjang penggunaan angkutan massal ini, dibutuhkan trotoar yang lebar dan nyaman bagi warga, terutama pengguna angkutan umum.
Fasilitasi difabel
Di Kota Bogor, fasilitas pejalan kaki untuk warga difabel dan warga lanjut usia. “Misalnya, trotoar di beberapa ruas jalan di tengah kota, sudah dilebarkan. Sudah ada pula penanda atau fasilitas untuk disabilitasnya,”kata Andri, anggota Komunitas Disabilitas Bogor yang juga warga Bogor Utara, kemarin.
Namun, lanjutnya, pemasangan atau penempatan ubin pemandu untuk tunanetra, seringkali tidak tepat. Rekannya yang tunanetra masih sulit untuk berjalan nyaman di trotoar atau memanfaatkan halte untuk naik-turun angkot. Selain itu, lantai halte masih sangat tinggi dari badan jalan dan tidak ada bidang menurun yang mengubungkan halte dengan badan jalan.
Andri mengatakan, angkot juga belum ramah bagi warga difabel. Begitupun KRL. “Loket atau mesin penjual tiket, tidak bersahabat dengan kami yang kedua tangannya tidak berfungsi normal. Jadi, kami di sini tidak bisa mandiri,” katanya.