NUSA DUA, KOMPAS — Teknologi digital memiliki peluang potensial menciptakan bidang pekerjaan baru yang bermanfaat positif bagi angkatan kerja muda. Akan tetapi, pada saat bersamaan, sistem ekonomi yang terbentuk oleh digital mengikis hak-hak pekerja muda.
Pemerintah perlu mengambil peran menciptakan kebijakan. Hal itu menjadi benang merah diskusi Youth At Work, bagian perhelatan Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia 2018, Selasa (9/10/2018) di Nusa Dua, Bali.
Deputy Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF) Carla Grasso menekankan pentingnya angkatan kerja usia muda memiliki pekerjaan berkualitas. Apalagi, mereka kini berada di tengah-tengah situasi pesatnya perkembangan teknologi digital seperti sekarang.
Menurut dia, teknologi digital bisa berdampak positif dan negatif. Untuk dampak positif, teknologi digital menghasilkan bidang-bidang pekerjaan baru guna menggantikan peran yang tergerus akibat otomatisasi. Sementara sisi negatif, tidak semua bidang pekerjaan baru justru membawa angkatan kerja muda ke sektor informal.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dalam laporan Global Employment Trends For Youth 2017 menyebutkan, selama kurun 1997-2017, populasi kaum muda di seluruh dunia tumbuh sebanyak 139 juta orang. Sementara pada saat bersamaan, angkatan kerja muda menyusut 35 juta orang. Proporsi pemuda dari keseluruhan angkatan kerja global menurun dari 21,7 persen menjadi 15,5 persen.
Laporan itu juga menyebutkan, tingkat partisipasi angkatan kerja kaum muda memburuk dalam 20 tahun terakhir dari 55,0 persen menjadi 45,7 juta persen. Sekitar 70,9 juta orang anak muda di dunia menganggur atau tingkat penganggurannya 13,1 persen pada 2017. Persentase pengangguran ini dinilai ILO sangat tinggi.
Selain mengulas pengangguran di usia muda, laporan Global Employment Trends For Youth 2017 menyorot pula relasi pekerja muda dengan pasar tenaga kerja yang dipengaruhi teknologi. Pekerja muda dituntut cepat beradaptasi dengan bidang-bidang pekerjaan baru akibat perubahan digital.
”Permasalahan yang dihadapi dunia sekarang adalah pengangguran yang tercipta justru berasal dari pemuda dengan latar belakang pendidikan cukup bagus. Artinya, suplai pendidikan dan permintaan dunia kerja tidak menyambung. Di luar itu, kami mengamati adanya angkatan kerja muda menganggur karena kompetensinya memang kurang, khususnya rendahnya adopsi teknologi digital,” ujar Director ILO Regional Office for Asia Pasific Graeme Buckley.
Teknologi digital melahirkan konsep ekonomi baru bernama gig economy. Gig Economy ditandai salah satunya oleh ekonomi yang bergantung pada pekerja kontrak sementara. Pekerjaan paruh waktu menjadi hal biasa. Kecemasan ILO, kata Graeme, yaitu tiadanya pembahasan perlunya jaminan sosial bagi pekerja yang terlibat di gig economy.
Berangkat dari kompleksnya persoalan angkatan kerja muda itu, Graeme menyarankan, pemerintah semestinya segera terlibat aktif membangun kebijakan-kebijakan yang mendukung lingkungan pasar tenaga kerja yang positif. Pendekatannya bisa dimulai dari pendidikan.
Pada tahun 2030, sekitar 25,6 juta angkatan kerja muda berusia 15-29 tahun akan memasuki pasar dan membutuhkan pekerjaan. Sekitar 77 persen di antara angkatan kerja muda berasal dari negara kawasan Afrika dan Asia Pasifik.
Sistem pendidikan
Chair, Foreign Affairs Committee, Parlemen Kosovo, Vjosa Osmani Sadriu memandang, institusi pendidikan masih memegang peranan penting bagi masa depan angkatan kerja muda. Senada dengan Graeme, dia berpendapat, bukti nyata keterlibatan pemerintah dapat diwujudkan melalui anggaran khusus bagi generasi muda. Melalui kebijakan anggaran, pemerintah bisa menciptakan sistem pendidikan ramah terhadap kebutuhan anak muda, perubahan pasar tenaga kerja, serta teknologi.
Founder African Entrepreneurship Initiative, Anele Mkuzo, menceritakan, tingkat pengangguran angkatan kerja muda di Afrika cukup besar. Mereka ini tidak terserap sektor formal, kemudian memilih berwirausaha. Kemunculan teknologi digital yang diharapkan mempermudah berbisnis justru belum terjadi.
”Teknologi digital semestinya inklusif. Dengan kata lain, semua kalangan mampu mengaksesnya. Kenyataan di Afrika dan juga negara berkembang lainnya, mengakses internet mahal,” katanya.
Founder dan CEO Bukalapak, Achmad Zaky, berpendapat, teknologi berhasil menciptakan lapangan kerja. Hal ini berangkat dari pengalamannya membesarkan Bukalapak selama 8 tahun. Kini, sekitar 2.000 tenaga kerja dimiliki Bukalapak dan rata-rata berusia 25 tahun.
”Anak muda harus diberikan wadah berkreasi dan fleksibilitas dalam berkarya. Situasi seperti ini sayangnya belum dimiliki kebanyakan institusi pendidikan di Indonesia,” ujarnya.
Founder Afresist (gerakan kesetaraan hak anak muda), Aya Chebbi, memandang angkatan kerja muda di negara berkembang, seperti Afrika, berlatar belakang pendidikan tinggi dan berkompeten. Akan tetapi, mereka memilih melakoni pekerjaan yang memiliki visi, baik di sektor formal maupun informal dengan berwirausaha.