JAKARTA, KOMPAS — Pelemahan nilai tukar rupiah yang telah mencapai kisaran Rp 15.000 per dollar AS dapat memunculkan peluang investasi di Indonesia. Kendati demikian, peluang tersebut hanya dirasakan di sektor bisnis tertentu, seperti sektor migas dan beberapa sektor nonmigas.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Rabu (10/10/2018), mengatakan, secara umum, peluang investasi masih terbuka lebar. Hal itu terlihat dari ekspor beberapa produk unggulan yang meningkat.
”Sektor migas, misalnya, tumbuh 14 persen selama Januari-Agustus akibat pelemahan nilai tukar dan kenaikan harga minyak mentah,” ujarnya.
Hal serupa terjadi di sektor nonmigas, seperti bijih besi, baja, kertas, dan barang kimia.
Bhima melanjutkan, investor masih tertarik untuk berinvestasi pada sektor yang memiliki potensi bertumbuh secara jangka panjang. Mereka cenderung tidak terpengaruh dengan gejolak nilai tukar.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, peluang masuknya investasi juga muncul di sektor pertekstilan. Namun, investasi biasanya bertambah untuk jenis usaha yang berorientasi pasar ekspor.
”Investasi untuk pasar ekspor biasanya naik dalam bentuk pakaian jadi. Tetapi, untuk yang berorientasi ke pasar domestik biasanya nilai investasi tidak naik,” ucap Ade.
Di tengah gonjang-ganjing nilai tukar rupiah yang terus melemah, API justru memperkirakan nilai ekspor produk tekstil akan mencapai 14 miliar dollar AS atau meningkat 9 persen pada 2018 dibandingkan tahun 2017.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Adhi S Lukman menambahkan, pelaku usaha di sektor makanan dan minuman justru tidak merasakan kenaikan investasi akibat pelemahan nilai tukar rupiah.
”Malah yang ada investasi asing cenderung turun,” katanya. Penurunan tersebut diyakini terjadi akibat iklim investasi Indonesia yang masih belum kondusif serta ramah sehingga investor bersikap wait and see.
Indonesia sedang memasuki tahun politik karena Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sementara pada saat yang bersamaan, berbagai aturan, seperti impor bahan baku, masih tumpang tindih serta berubah dalam jangka waktu yang singkat.
Selain itu, Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission/OSS) yang telah diberlakukan belum berfungsi secara optimal. Untuk sektor makanan dan minuman, izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan juga belum masuk ke OSS.
”Investasi asing butuh kepastian. Sebenarnya, banyak investor asing yang sudah menyuarakan tertarik berinvestasi di Indonesia,” ujarnya.
Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) melaporkan, jumlah penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) terhadap pembentukan modal tetap bruto di Indonesia rata-rata hanya sebesar 5,7 persen selama 2011-2016.
Jumlah itu jauh lebih rendah dibandingkan Vietnam (23,2 persen), Malaysia (14 persen), Filipina (7 persen), dan Thailand (6,1 persen).
Belajar dari Vietnam
Bhima menyampaikan, sudah saatnya Indonesia belajar dari Vietnam dalam menciptakan kemudahan untuk berinvestasi. Indonesia yang menganut prinsip ekonomi bebas dan aktif justru kalah dari Vietnam yang lebih tertutup.
”Vietnam menerapkan kebijakan yang konsisten dari pusat sampai daerah. Kebijakan dari otonomi daerah di Indonesia masih berantakan,” ujarnya.
Indonesia harus menaikkan penanaman modal asing langsung di atas 17 persen, di atas nilai rata-rata yang dimiliki negara-negara Asia Tenggara.
Indonesia juga perlu memperbaiki kualitas tenaga kerja agar lebih menarik investor. Nilai upah tenaga kerja Indonesia sekarang lebih rendah daripada China. Namun, Indonesia juga harus bersaing dengan Vietnam yang memiliki upah tenaga kerja yang cukup bersaing.