Kendati kampanye stop kekerasan terhadap perempuan terus digaungkan di tengah masyarakat, hingga kini praktik pelecehan seksual di berbagai area publik tetap saja berlangsung. Fasilitas publik dan ruang terbuka tetap saja menjadi ancaman bagi anak-anak perempuan dan perempuan.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah fasilitas dan ruang publik di berbagai kota di Tanah Air, hingga kini dinilai masih belum ramah dan aman terhadap anak-anak perempuan dan perempuan muda. Berbagai tindak kriminal, kekerasan dan pelecehan seksual rawan menimpa anak perempuan dan perempuan muda, terutama saat menggunakan transportasi dan saat berjalan di trotoar.
Hasil riset Yayasan Plan International Indonesia yang bekerjasama dengan U-Report Indonesia terkait tingkat keamanan dan kenyamanan fasilitas publik bagi anak perempuan dan perempuan muda di Indonesia, pada 7-10 September 2018 menemukan, sarana transportasi adalah fasilitas publik yang paling tidak aman. Sedangkan ruang publik paling tidak aman buat anak perempuan adalah trotoar di susul kamar mandi umum.
Riset dengan metode jajak pendapat melalui berbagai saluran yang dimiliki oleh U-Report, seperti Facebook Massenger, Twitter, Whatsapp, dan layanan pesan singkat (SMS) dengan total responden 1.398 anak perempuan. Responden berusia 15-17 tahun yang tinggal di kota dan pedesaan.
“Sebanyak 64 responden menyatakan tindakan kriminal dan pelecehan seksual sebagai penyebab tertinggi tidak aman. Disusul kepadatan pengguna di fasilitas publik yang disampaikan 19 persen responden. Kondisi diperparah dengan pernyataan 74,8 persen responden yang merasa fasilitas publik yang ada saat ini masih kurang dapat memenuhi kebutuhan anak,” ungkap Dini Widiastuti, Eksekutif Direktur Yayasan Plan International Indonesia, pada Diskusi Media di Jakarta, Senin (8/10/2018).
Siulan dan komentar
Troatoar paling tidak aman bagi anak perempuan dan perempuan muda, karena rawan pelecehan seksual, melalui siulan dan komentar yang merendahkan perempuan (catcall).
Diskusi yang mengusung tema "Ciptakan Kota Aman untuk Perempuan dan Anak Perempuan" dalam rangka Hari Anak Perempuan Internasional 2018 (International Day of The Girl) menghadirkan pembicara Nadira Irdiana (Advocacy Manager Yayasan Plan International Indonesia), Lily Puspitasari (Program Manager UN Women), dan Meyta Nurul Aini (Youth Coalition for Girls dan peserta Girls Take Over 2016)
Dari jajak pendapat tersebut para responden juga mengaku pernah menyaksikan kekerasan seksual, terutama kekerasan verbal (44,9 persen) dan sebanyak 47,3 persen responden menyatakan pernah menyaksikan kekerasan seksual lebih dari lima kali.
Menurut Nadira, kondisi di Indonesia tersebut tidak jauh beda dengan hasil survei Plan Internasional belum lama ini yang melibatkan 400 ahli dari bidang hak-hak perempuan, hak anak-anak dan keamanan perkotaan dari 22 kota di dunia termasuk Indonesia. Hasilnya, sebanyak 78 persen dari ahli di 22 kota antara lain Bogota,Johannesburg, Delhi, Lima, Kampala, Nairobi, Cairo, Sao Paulo, Dhaka, Jakarta, dan Paris, menggambarkan pelecehan seksual sebagai risiko yang sangat tinggi untuk anak perempuan maupun perempuan muda di kota.
Ancaman kekerasan seksual yang dihadapi perempuan diungkapkan Lily Puspasari, dengan mengangkapkan laporan Komis Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas HAM) yang menyatakan setiap 2 jam, tiga dari empat perempuan terpapar kekerasan seksual. Bahkan, lebih dari 340.000 kasus kekerasan tersebut dilaporkan pada 2017 dan 26 persen diantaranya dilakukan di area publik.
“Apa yang terjadi di area publik tentunya memengaruhi bagaimana perempuan dan anak perempuan dapat beraktivitas dengan bebas dan aman di area publik,” kata Lily.
Jika dibiarkan, dikhawatirkan kondisi tersebut akan menurunkan kemampuan perempuan dan anak perempuan untuk berpartisipasi di sekolah, pekerjaan, dan kehidupan umum.
Bagi perempuan muda seperti Meyta (19), kota yang aman dengan sarana dan ruang publik yang aman bagi anak perempuan dan perempuan muda akan terwujud jika masyarakat mengubah pola pikirnya. "Percuma fasilitas bagus tapi kalau pola pikir masyarakat tidak berubah. Karena selama masyarakat masih tetap seperti sekarang, tetap tidak aman bagi perempuan. Masih saja ada catcall di trotoar dan jalan umum," papar Meyta.
Kendati demikian, dia berharap pemerintah terus meningkatkan infrastruktur pendukung untuk menciptakan kota yang aman bagi perempuan.
Dalam rangka memperingati Hari Anak Perempuan Internasional 2018 pada 11 Oktober mendatang, Plan Indonesia akan menggelar kegiatan "Sehari Jadi Pemimpin" di kantor kementerian/lembaga di Jakarta.
Dini menegaskan, kampanye kesetaraan hak anak-anak perempuan untuk memimpin dan ikut terlibat dalam perubahan diharapkan mendorong lebih banyak partisipasi anak-anak perempuan di berbagai sektor.
“Anak perempuan dan perempuan muda dapat ikut membuat perubahan jika hak-hak mereka terpenuhi dan diberi kesempatan yang sama," katanya.