Rakyat untuk Profesionalisme TNI
Setiap peringatan hari ulang tahun TNI, lampu selalu menyorot TNI dari sudut pandang pemenuhan agenda reformasi. Kerap terlupakan bahwa perjalanan reformasi TNI tidak lepas dari perkembangan rakyatnya.
Reformasi TNI adalah bagian dari Reformasi Sektor Keamanan (RSK). Pada 1990-an, banyak negara melihat perlunya militer, kepolisian, dan intelijen direformasi karena tugas keamanan yang tidak lagi bisa hanya ditangani satu aktor, misalnya perang internal, terorisme, atau bencana alam. RSK diadakan agar dalam kerangka demokrasi, para aktor keamanan ini profesional dalam melaksanakan tugasnya. Kerangka yang digunakan biasanya adalah kontrol sipil atas militer sebagaimana disampaikan Samuel Huntington.
Berbagai pihak menilai, reformasi TNI berjalan cukup baik. Namun, proses masih terus berjalan. Sesuai jati dirinya, TNI adalah tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional. Oleh karena itu, perjalanan reformasi TNI bergantung pada perkembangan masyarakat sipil. Tulisan ini hendak menunjukkan bagaimana hubungan antara sipil dan militer di Indonesia, lewat situasi di lapangan, hingga di tataran kebijakan serta bagaimana pengaruhnya pada profesionalisme TNI.
Sesuai jati dirinya, TNI adalah tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional. Oleh karena itu, perjalanan reformasi TNI bergantung pada perkembangan masyarakat sipil
Keterlibatan TNI dalam tanggap darurat penanganan bencana alam dapat dilihat dalam bencana di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah yang baru saja terjadi. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Markas Besar TNI di Cilangkap, Jakarta, 5 Oktober 2018 memberikan apresiasi.
“Saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran TNI yang telah dengan cepat, dengan sigap dan dengan tulus hati membantu korban bencana. Dharma bakti saudara-saudara sungguh membanggakan rakyat dan membanggakan kita semuanya,” kata Presiden Jokowi ketika itu.
Operasi bantuan kemanusiaan dan penangggulangan bencana alam menjadi salah satu tugas TNI sesuai dengan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam tanggap darurat gempa di Sulawesi Tengah, Wakil Kepala Staf TNI AD Letjen Tatang Sulaiman, Jumat (5/10) bercerita, pasukan TNI AD dari Makassar segera bergerak ke Palu beberapa jam setelah gempa menempuh belasan jam perjalanan.
Kepala Staf TNI AU Marsekal Yuyu Sutisna mengatakan, TNI AU segera mengirimkan helikopter untuk melakukan pemeriksaan udara bandara secepatnya. Kemudian, segera pesawat-pesawat angkut TNI AU mendarat di Bandara Mutiara SIS Al Jufrie membawa bantuan dan membantu evakuasi. Padahal, ada landasan yang retak. “Anak-anak sudah terlatih dan berani,” kata Yuyu.
TNI AL segera mengirimkan tim hidrografi dan oseanografi untuk memeriksa kondisi bawah laut, dan mencari alur agar kapal TNI AL, termasuk kapal rumah sakit, bisa segera berlabuh. Baik Yuyu maupun Kepala Staf TNI AL Laksamana Siwi Sukma Adji menegaskan, salah satu implementasi dari profesionalisme adalah mematuhi prosedur agar operasi bisa berjalan lancar.
“Gempa pasti mengubah kontur bawah laut, jangan sampai ada kapal bawa bantuan malah kandas karena kita tidak survei dulu,” kata Siwi.
Di balik segala operasi ini, cerita Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bisa menjadi titik awal evaluasi sebagai pelajaran ke depan. Menurut dia, pemerintah daerah relatif lumpuh. “Bayangkan, untuk menentukan lokasi kuburan massal, harus Panglima TNI yang mengerjakan. Habis itu, cari eskavator untuk TNI bisa menggali. Penanganan jenazah tidak ada yang bertanggungjawab,” tukasnya.
Hadi mengatakan, komando dan pengendalian oleh pemerintah daerah harus cepat dibenahi. Tujuannya, agar pelayanan pada publik cepat dikerjakan. Ia melihat, hal-hal yang esensial seperti distribusi bahan bakar minyak (BBM) tidak tertangani karena tidak ada sense of crisis.
“Bayangkan, dari 17, ada 10 SPBU yang bekerja, tapi terminal BBM yang rusak tidak mau dibenerin, tidak spartan jualan, sehingga ya BBM tidak terdistribusi,” tegas Hadi.
Akibatnya, kerja TNI mulai dari mencari kuburan hingga menyediakan nasi bungkus untuk dijual di warung agar ekonomi berjalan. Hal ini butuh evaluasi karena penanggulangan bencana merupakan tugas dan kewenangan pemerintah sipil yang terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah beserta segala elemennya. Peran TNI sejatinya hanya membantu. Hal ini tidak saja diatur UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana tetapi sesuai dengan esensi otonomi daerah itu sendiri.
Evaluasi
Terlalu dominannya TNI dalam penanganan tanggap darurat ada sisi negatifnya. Pertama, tidak semua satuan TNI dilatih untuk menangani bencana yang tidak saja butuh daya tahan fisik, tetapi pendekatan yang lebih fleksibel dan sabar. Kedua, penanganan oleh TNI di lapangan tidak selalu efisien dan efektif, apalagi kalau aset TNI yang digunakan harus digerakkan dulu dari tempat lain.
Ketiga, terlalu banyak menangani bencana bisa membuat TNI kehilangan energi, sumber daya, dan kemampuan untuk memenuhi tugas pokoknya yaitu berperang. Keempat, ada banyak aset dan kemampuan daerah yang kalau juga digerakkan dan bersinergi dengan kekuatan TNI dan Pemerintah Pusat akan membuat korban lebih cepat dan tepat tertangani. Kelima, otoritas sipil jadi tidak terpacu untuk meningkatkan kapasitas karena terlalu mengandalkan TNI.
Secara umum, dalam konteks pertahanan, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan masyarakat sipil. Dari sisi regulasi, masih banyak kekurangan seperti belum adanya Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan UU No 34/2004 tentang TNI. Hal ini berpotensi membuat ketidakpastian di lapangan sehingga membuat prajurit TNI bingung atau salah bertindak dan masuk terlalu jauh ke domain sipil.
Kebijakan politik tentang pertahanan mempengaruhi profesionalisme TNI. Sebagai contoh, hingga kini transaksi pembelian pesawat Sukhoi Su-35 pengganti F5 masih menunggu proses di Kementerian Perdagangan. Indonesia tidak saja jadi lemah pertahanan udaranya, tapi juga beresiko kekurangan pilot tempur di masa depan.
Dalam doktrin TNI terbaru yang terbit tahun 2018, tampak bahwa TNI mulai mengarah pada perang modern. Medium untuk definisi ancaman tidak saja datang dari laut, darat, udara, tetapi juga luar angkasa, elektronik, dan siber. Kompleksitas ancaman hibrida ini membuat TNI menyebutkan pentingnya pengembangan teknologi luar angkasa, hingga penindakan dengan Network Centric Warfare. Ironisnya, ada permasalahan yang tidak kunjung usai dengan pengadaan satelit militer. Bahkan, orbit Bujur Timur 123 bisa diambil alih negara lain bila Indonesia tidak mengisinya.
Hubungan sipil-militer kini sudah semakin berkembang. Kontrol sipil terhadap militer tidak lagi cukup untuk mengatasi masalah-masalah keamanan yang kian kompleks. Thomas C Bruneau dan Florina Cristiana Matei dalam bukunya The Routledge Handbook of Civil-Military Relations (2013) menambahkan, unsur efektivitas dan efisiensi para aktor keamanan dalam melaksanakan tugasnya yang kian kompleks.
Dalam konteks Indonesia, pekerjaan rumah ada di pihak masyarakat sipil. Sipil yang mumpuni akan menghasilkan TNI yang profesional. Dengan demikian, slogan HUT TNI ke-73 pun bisa berlaku timbal balik, tidak saja “Profesionalisme TNI untuk Rakyat”, tetapi juga “Rakyat untuk Profesionalisme TNI”.