Ayo, Palu Bangkit!
PALU, KOMPAS — Sejauh mata memandang, di pantai hanya terlihat rongsokan. Ada kayu, besi, mobil, kontainer, bagian dari bangunan, dan masih banyak lagi. Embusan angin segar dari laut Teluk Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, hilang dan berubah auranya menjadi ketakutan.
Radius 10 kilometer ke arah selatan, tanah, lumpur, dan bekas komponen bangunan bercampur aduk membentuk bukit. Padahal, daerah itu sebelumnya penuh rumah bergaya minimalis modern dengan jalan poros lurus dari timur ke barat. Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, berubah wajah.
Itu semua adalah penggalan kerusakan akibat gempa bermagnitudo 7,4 pada Jumat (28/9/2018). Gempa disusul tsunami yang menyapu pantai Teluk Palu. Bahkan, di Petobo, gempa diikuti fenomena likuefaksi, yakni gerakan lumpur di dalam tanah yang menghancurkan semua yang ada di atasnya. Gejala sama terjadi di Perumnas Balaroa, Kecamatan Palu Barat, dan Desa Jono Oge di Kabupaten Sigi.
Hingga Jumat (5/10/2018), korban akibat gempa dan tsunami berjumlah sekitar 1.500 orang. Jumlah itu dipastikan terus bertambah karena evakuasi korban di puing bangunan dan reruntuhan tanah masih berlangsung.
Saya mengalami dampak gempa bersamaan dengan fenomena likuefaksi di Petobo. Saya berhasil melarikan diri dari hantaman gelombang tanah yang gemuruhnya dahsyat. Namun, rumah saya terlindas bersama lebih dari 200 rumah warga Petobo lainnya. Korban jiwa diperkirakan banyak di tempat tersebut.
Saya melewati hari demi hari di tenda pengungsian. Hanya beratap terpal tanpa dinding. Dingin dan penuh nyamuk. Saat matahari tenggelam di balik Pegunungan Gawalise di sisi barat Palu, gelap menyergap. Hingga Jumat (5/10/2018), titik saya mengungsi di lapangan kecil di Kelurahan Lasoani, Kecamatan Mantikulore, listrik belum pulih.
Saat menyisir tenda pengungsi lain, tak banyak suara yang muncul. Bahkan, pada pukul 20.00 Wita, tenda-tenda sunyi. Penghuninya lekas tidur barangkali pengin hari cepat berganti agar berlalu sembari berharap hari berikutnya suasana lebih baik.
Jalan raya yang biasanya ramai riuh oleh kendaraan hingga larut malam hari-hari ini berubah jadi sepi. Kendaraan yang lewat bisa dihitung dengan jari. Raungan sirene lebih sering terdengar, membuat dada makin sesak. Kios-kios di pinggir jalan yang biasanya menambah cahaya ke jalan pada malam hari berubah jadi mati.
Gempa bagi warga Palu yang berjumlah hingga 400.000 jiwa meneteskan banyak air mata. Saking tak sanggup memeras air mata, banyak warga memilih langkah sulit, yakni meninggalkan Palu, entah untuk sementara ataukah untuk seterusnya.
Namun, cerita tentang Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi tak melulu soal sisi kelamnya karena bencana. Kehancuran gempa juga menggerakkan tekad untuk tak menyerah.
Meski belum masif, ikhtiar membangun kembali optimisme di Kota Palu mulai bergaung, setidaknya di media sosial. Seorang teman yang fotografer menulis di akun Facebook, ”Saya warga Palu. Saya tidak akan tinggalkan Palu dalam keadaan berduka. Saya akan terus bergerak untuk Palu tercinta”. Tulisan ditutup dengan #palukuat.
Abdi Mari, kawan lainnya, menulis, ”Kawan-kawanku, baik yang masih di Palu maupun yang sudah di kampung orang, ayo kita bangun kembali kota ini. Saya rindu suasana kota ini. Kamu tidak rindu ini kotakah?" Status itu ditutup #PaluBangkit.
Sejak Jumat, di platform media sosial Facebook, banyak pemilik akun menuliskan status ajakan untuk membangun kembali Palu, seruan agar Palu kuat, dan kata-kata yang memantik optimisme.
Palu memang hancur lebur, tetapi tak lantas menyerah. Kota Palu tidak hanya soal bencana. Kota Palu adalah keindahan teluk dalam perpaduan empat dimensi, yakni laut, gunung, sungai, dan kota.
Kota Palu adalah tentang hidupnya daerah pinggiran oleh cahaya temaram kafe-kafe di sepanjang Pantai Talise dan Pantai Taman Ria. Di sana, berbagai minuman hangat, seperti saraba (minuman susu jahe), dan kudapan bisa dinikmati sembari merasakan embusan angin laut malam hari.
Di pinggir jalan raya, kafe-kafe tempat sejenak warga menyeruput kopi berjejer. Di sana canda dan tawa lepas meluap.
Kota Palu tentang riuh rendah pagi hari yang diwarnai dengan berjejernya bungkusan nasi kuning di atas meja di pinggir jalan. Yang tidak sempat sarapan di rumah, nasi kuning yang dijual para emak itu jadi bekal mengarungi hari.
Di warung-warung tertentu, orang bisa menikmati sepiring kaledo, sup tulang sapi yang masih menyisakan sumsum untuk diisap, ditemani potongan ubi singkong.
Kota Palu jangan direduksi hanya pada gempa. Jauh sebelum gempa sebagai fenomena alam meski dalam dimensi desktuktif, Palu jadi kota indah menikmati fenomena alam lainnya.
Pada 9 Maret 2016, peneliti dan wisatawan mancanegara berduyun-duyun ke Palu demi mengamati dan menikmati gerhana matahari total. Palu dilewati garis khatulistiwa. Di kota ini, peneliti dan wisatawan mancanegara menikmati gejala alam langka itu selama 2 menit lebih, salah satu kota dengan gerhana matahari terlama di Indonesia. Pagi hari itu, warga tumplak ke pinggir pantai sepanjang 3 kilometer. Warga bersukacita menikmati gerhana dalam kondisi langit bersih, hal yang justru kebalikan dari kota lain di Indonesia.
Anugerah alam juga menghampiri Palu pada akhir Januari tahun ini dalam bentuk gerhana bulan total super darah biru. Warga memadati sekitaran Jembatan IV Palu alias Jembatan Kuning Melengkung yang karena gempa telah ambruk. Dari situ, gerhana bulan dilihat dengan artistik: bulan bulat dilihat dalam balutan pendar cahaya kuning dan merah di kerangka jembatan.
Bagi saya yang bertugas sejak Januari 2014 di kota ini, Palu telah jadi kampung halaman kedua.
Apakah memori indah itu lenyap seketika hanya karena gempa dan tsunami?
Kawan, mari bangun kembali Kota Palu. Di atas puing-puing dan darah para korban bencana, kita bangun optimisme untuk Kota Palu yang lebih baik ke depan.
Di sejumlah permukiman dan pinggir jalan, warga sudah mulai beraktivitas. Ada yang menjual nasi bungkus. Warung-warung makan sudah mulai dibuka. Warga pun mulai membersihkan rumah. Bahkan, cukup banyak pengungsi yang sudah kembali ke rumah masing-masing.
Kota pun pada malam hari sebagian besar telah bercahaya karena listrik. Jaringan telekomunikasi hampir seluruhnya pulih.
Gempa menyisakan duka, tetapi tak lantas membuat kita larut dalam suasana kelam itu. Gempa menyadarkan kita akan pentingnya kebijakan tata ruang yang memperhatikan geoteknik dan memperkuat mitigasi bencana. Hal itu tak sulit selagi kita mencintai kota ini.
Seperti semboyan Kota Palu, nosarara nosabatutu (bersama kita satu), mari membangun kembali Palu tercinta dalam semangat tersebut.