Gerakan #MeToo terus mengguncang Amerika Serikat. Selain telah menumbangkan puluhan pria berkuasa, saat ini #MeToo mengancam nominasi calon hakim agung AS Brett Kavanaugh.
Dimulai Oktober 2017, gerakan ini muncul ketika satu demi satu korban pelecehan seksual yang dilakukan sosok paling berkuasa di Hollywood, Harvey Weinstein, membuka suara. Dari aktris kaliber Oscar seperti Gwyneth Paltrouw dan Angela Jolie sampai aktris yang baru meniti karier.
Namun, gerakan ini ”terpecah” dalam kasus Brett Kavanaugh. Tiga perempuan angkat suara dan mengaku telah menjadi korban pelecehan Kavanaugh pada 1980-an. Namun, kasus ini memecah kalangan perempuan di Kongres AS.
Beberapa hari lalu, misalnya, Trump disambut meriah oleh para pendukungnya ketika ia mengejek penuduh Kavanaugh, Christine Blasey Ford. ”Ini saat yang menakutkan bagi para pria muda di Amerika. Anda bisa bersalah oleh sesuatu yang mungkin Anda sebetulnya tidak salah,” kata Trump. Komentarnya ini langsung mendapat kecaman dari kubu Demokrat.
Tekanan juga dirasakan oleh enam perempuan senator dari Partai Republik yang akan memberikan suaranya untuk pemilihan Kavanaugh. Meskipun dalam survei terakhir mayoritas perempuan menyatakan Kavanaugh harus ditolak, seluruh senator Republik mengaku akan tetap teguh dalam pilihannya.
Gerakan #MeToo juga pernah berimbas pada kubu Partai Demokrat di mana anggota Kongres yang sangat populer, seperti Al Franken dan John Conyers, harus mundur dari jabatannya. Seandainya saja kasus pelecehan 20 tahun lalu yang menimpa Bil Clinton terjadi saat ini, Clinton diperkirakan tak akan lolos dari pemakzulan karena apa yang terjadi sama dengan penyalahgunaan kekuasaan.
#MeToo juga telah memacu kubu Demokrat untuk meningkatkan jumlah perempuan anggota Kongres yang semuanya berharap bisa menjadi mayoritas di Kongres sehingga bisa mematahkan kebijakan Trump. Namun, peluang terbesar perempuan di Kongres tak akan melebihi 24 persen atau naik sekitar 5 persen dari yang ada saat ini. Jumlah ini jauh tertinggal dari sejumlah negara maju lain di dunia.
Namun, bagi para pejuang perempuan di AS, perkembangan ini sudah menggembirakan. ”Ini adalah maraton, bukan sprint,” kata Jean Sinzdak, direktur dari pusat politik dan perempuan AS di Rutgers University. Sinzdak menyatakan bahwa ”hasil” gerakan ini sudah nyata. Jika dulu perempuan yang dilecehkan hanya menyimpannya dalam diam, kini mereka berani membuka suara, didengar, dipercaya, dan didukung.
Dalam kasus pemerkosaan dan pelecehan yang dilakukan oleh aktor Bill Cosby, misalnya, sedikitnya ada 60 perempuan yang akhirnya berani berbicara. Cosby pekan lalu dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun.
Tuduhan pemerkosaan juga kini menimpa megabintang sepak bola Ronaldo. Ia dituduh memperkosa seorang model, Kathryn Mayorga, di sebuah hotel mewah di Las Vegas pada 2009. Kepolisian Las Vegas kini membuka kembali kasusnya.
Pengacara Kathryn Mayorga, Leslie Stovall, menyatakan, kliennya mengalami trauma selama bertahun-tahun dan memperoleh keberanian untuk bersuara setelah ada gerakan #MeToo.
”Terima kasih kepada gerakan #MeToo dan kepada para perempuan yang telah berani bersuara dan mengungkapkan pelecehan yang mereka alami. Semua itu telah memberi kekuatan kepada Kathryn untuk mengungkapkan ini,” kata Leslie.