Mereka Tidak Sepenuhnya Pergi
Korban gempa dan tsunami Sulawesi Tengah berduyun-duyun meninggalkan Kota Palu dan sekitarnya. Mereka menyelamatkan diri dari kondisi tidak menentu, kesedihan, dan trauma mendalam akan bencana gempa yang masih membayangi. Namun, uluran tangan dari saudara dan masyarakat menjadi obat yang menghapus sebagian kengerian.
Rona bahagia memancar dari wajah Muslim (49) begitu kapal KRI Makassar yang ia tumpangi bersandar di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan. Bersama 23 orang keluarganya, dia meninggalkan Palu, kota kelahirannya, tempat leluhurnya beranak pinak.
Muslim mengarahkan keluarganya untuk bersiap. Istri, anak, kemenakan, cucu, lalu berdiri mengangkut barang masing-masing dari lambung kapal. Seorang cucunya yang berumur lima hari telah dibawa lebih dulu ke klinik. Bayi itu lahir di pengungsian, dua hari setelah gempa berkekuatan M 7,4 disusul tsunami yang meluluhlantakkan Palu, Donggala, dan daerah lain.
Di area kedatangan, Muslim disambut beberapa keluarganya. Pelukan erat menyambut mereka. Mereka lalu melepas lelah dan segera bersiap kembali. Keluarga ini akan berangkat ke Kabupaten Sidrap, sekitar empat jam berkendara dari Kota Makassar. Sidrap adalah kampung dari iparnya.
”Begitu tiba di sini, saya sudah lumayan tenang. Biarlah di sini dulu tinggal sementara bersama keluarga. Kami di Palu tidak bisa tenang, tiap hari masih gempa,” ujar Muslim yang sehari-hari menjadi seorang wiraswasta ini.
Muslim menceritakan, hingga hari terakhir sebelum berangkat dengan KRI Makassar, gempa terus berlangsung. Hal itu membuat dia dan keluarganya ketakutan dan panik. Apalagi, gempa pada Jumat pekan lalu yang berlangsung cepat betul-betul menggoncang kediamannya. Beruntung, dia masih sempat menyelamatkan anak dan istrinya keluar dari rumah yang roboh. Rumahnya yang berlokasi cukup tinggi menyelamatkannya dari amukan tsunami.
”Tapi, adik, kemenakan, hilang. Keluarga dari istri sebagian besar sudah tidak diketahui kabarnya. Rumah mereka beberapa meter dari pantai dan semuanya habis,” kata Muslim sebelum berangkat dengan mobil yang disewa keluarganya.
Celsius Antoni (38) tidak lepas dari pelukan sang ibu, Agustin (55), saat bertemu di terminal kedatangan pelabuhan. Sang ibu seakan tidak rela untuk meninggalkan anaknya barang sekejap meski telah berada di kota yang sama.
Pegawai yang bertugas di Pelabuhan Patoloan ini berhasil selamat dari bencana dahsyat bersama keluarganya. Luka robek di kepala diderita istrinya karena terantuk saat gempa menghantam Palu. Dia tidak mengalami luka, tetapi menderita trauma mendalam.
”Saya bersyukur bisa pulang dengan selamat dan bertemu keluarga. Di sana sangat tidak tenang. Saya dengar suara pintu mobil tertutup saja langsung lari bawa anak dan istri,” tutur Antoni.
Sejak gempa menghantam, Antoni tidak berani untuk menginap di rumahnya. Bersama beberapa rekan kerjanya, dia dan keluarga membentuk posko bersama di daerah yang cukup aman. Hanya saja, Palu seakan kehilangan daya hidup. Oleh karena itu, dia merasa harus pulang sementara.
Muslim dan Antoni adalah dua dari 1.609 orang yang hari itu mengungsi menggunakan KRI Makassar. Ribuan orang ini memilih meninggalkan Palu untuk sementara karena trauma yang diderita. Gempa yang terus berlangsung membuat kepanikan terus melanda mereka. Selain itu, bantuan yang minim juga membuat mereka merasa harus mencari tempat yang layak untuk keluarga.
Meninggalkan semua
Beratnya masa-masa setelah bencana memang membuat ribuan warga Palu, baik lokal maupun pendatang, memilih mengungsi. Usman (40), pengungsi lain, menceritakan, malam-malam di Palu sangat mencekam. Bau anyir dari jenazah yang belum diangkat membuat suasana semakin menakutkan.
”Malam kalau saya jalan sudah kayak kota mati. Gelap total. Baru ada cahaya kalau ada tenda pengungsian. Di mana-mana bau anyir,” kata ayah tiga anak ini.
Sejak gempa dan tsunami menghantam, Usman berusaha menolong warga yang terdampak. Empat orang berhasil diselamatkan dari reruntuhan. Meski begitu, tiga di antaranya meninggal saat dirawat di rumah sakit.
Memasuki hari kedua, Usman dan warga lain berusaha mengevakuasi jenazah. Sebanyak 23 orang ditemukan di sekitar pelabuhan. Selama lima hari melakukan evakuasi, puluhan jenazah dia temukan dan makamkan secara massal. Tangannya keseleo selama melakukan evakuasi.
”Kami meninggalkan semuanya di Palu. Semua jerih payah. Mudah-mudahan pemulihan cepat karena kami tahunya mencari usaha di sana,” katanya.
Di Asrama Haji Sudiang, tangis Sarinah (37) pecah ketika bus yang membawa korban gempa Sulteng tiba. Segera ia menghampiri dan memeluk kakaknya, Usman (42), yang selamat dari bencana gempa. Air mata Usman turut mengalir.
”Empat hari setelah gempa di Palu, saya belum bisa menghubungi kakak saya. Kami khawatir dan berdoa terus semoga dia selamat. Bahkan, saya hampir berangkat menggunakan Hercules. Tapi, alhamdulillah, kakak bisa dihubungi kemarin dan ternyata bisa keluar Palu,” ujar Sarinah yang tinggal di Daya, Makassar.
Kabar gembira itu disambut sukacita oleh keluarga besarnya. Manurung (42), sepupu Usman, misalnya, datang bersama 11 anggota keluarga lain asal Jeneponto, Sulsel. Mereka menempuh perjalanan darat sepanjang 87 kilometer dengan mobil dan sepeda motor demi keluarga yang menjadi korban gempa.
”Kami senang melihat Usman dan 14 anggota keluarga lain yang selamat. Ada satu keluarga yang meninggal, kasihan. Mereka harus ditenangkan dulu di Makassar. Itulah kenapa kami datang menjemput,” ujar Manurung. Matanya memerah bekas tangisan meski senyumnya merekah, mengetahui sebagian besar keluarga selamat.
Usman merasa bahagia dapat bertemu keluarga. Beberapa kali ia memeluk keluarganya. Pertemuan itu menjadi pengobat duka mendalam setelah diterpa gempa yang menewaskan lebih dari 1.400 korban itu. Ketika gempa disertai tsunami datang, Usman dan istri serta empat anaknya buru-buru lari ke bukit.
Beruntung, mereka selamat. Namun, rumahnya hancur ditelan gempa. Selama lima hari, Usman dan keluarga tidur beratapkan tenda tanpa dinding. Mereka di bukit. ”Kami takut kalau ada gempa lagi. Kalau dengar suara gemuruh, buru-buru kami lari ke bukit. Terlalu banyak jenazah,” ujar Usman yang bekerja di Pelabuhan Pantoloan, Palu.
”Kami trauma. Listrik, bensin, dan makanan juga belum seluruhnya lancar,” ujar Usman yang menunggu di kapal selama 25 jam sebelum kapal berlayar. Usman berharap, kondisi Palu segera pulih agar bisa segera pulang. Bagaimanapun, Palu adalah kampung halamannya. Separuh hidupnya dihabiskan di sana.
Tak punya keluarga
Berbeda dengan Usman, Ida Faridah (40) tak punya keluarga di Makassar. Ia bersama suami dan adiknya memilih tinggal sementara di Asrama Haji Sudiang. Tak ada yang menjemput mereka. Untung saja, makanan, minuman, obat-obatan, hingga perlengkapan mandi bantuan masyarakat tersedia di asrama.
”Saya tidak bawa apa-apa ke sini. Rumah hancur. Keluarga semua ada di Balikpapan. Mau ke sana tidak punya uang. Di pengungsian di Palu, kami hanya makan nasi dan sayur sehari sekali,” ujar Ida. Padahal, ia ingin sekali membeli pakaian bayi. Kandungannya sudah sembilan bulan. Ia ingin melahirkan dan melihat bayinya bersama keluarga.
Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah mengatakan, pihaknya siap menampung pengungsi korban gempa. Berapa pun jumlahnya. ”Kami juga menyiapkan tiket untuk korban gempa yang ingin pulang ke rumahnya di luar Sulsel. Kami akan koordinasikan dengan pemerintah provinsi setempat,” ujarnya.
Hingga enam hari setelah gempa, sekitar 7.000 pengungsi telah memasuki Makassar. Sebagian besar telah berada bersama keluarga dan sebagian lain masih menanti di pengungsian. Jumlah itu masih akan bertambah. Para korban gempa mungkin bertemu keluarga mereka. Namun, sebenarnya mereka belum sepenuhnya pergi. Kampung dan tempat mereka mengadu nasib adalah Palu, ibu kota Sulteng, yang kini ditinggalkan sebagian warganya….