TANGERANG, KOMPAS—Meski ekosistem mangrove dan lamun mampu menyerap dan menyimpan cadangan karbon tinggi, kemampuan ekosistem pesisir ini dalam perubahan iklim belum dimasukkan sebagai potensi Indonesia. Dalam perubahan kontribusi penurunan emisi Indonesia, karbon biru diusulkan masuk Dokumen Niatan Kontribusi Nasional (NDC) tahun 2021.
Mangrove dalam konteks penurunan emisi selama ini hanya diperhitungkan tutupan atasnya dari sektor lahan dan kehutanan. Padahal, mangrove pada bagian substrat dalam menyimpan cadangan karbon amat tinggi. Jika mengalami kerusakan, emisi yang terlepas dari jebakan karbon organik itu bisa lima kali emisi pembukaan hutan tropis.
”Kita (Indonesia) kurang data (terkait karbon biru). Data yang secara agregat karbon kita bisa setor karbon berapa. Itu masih banyak metodologi dan mazhab,” kata Tukul Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Koordinator Kemaritiman Bidang Sosio-Antropologi, seusai membuka Lokakarya Identifikasi Faktor Kunci Sukses dan Keekonomian Restorasi Mangrove Berbasis Masyarakat, Rabu (3/10/2018), di Tangerang, Banten.
Kita (Indonesia) kurang data (terkait karbon biru). Data yang secara agregat karbon kita bisa setor karbon berapa. Itu masih banyak metodologi dan mazhab.
Ia menambahkan, data dan metodologi itu perlu dihimpun berbagai pemangku kepentingan di Indonesia. Organisasi masyarakat sipil, komunitas masyarakat, perguruan tinggi, kementerian atau lembaga, dan sektor swasta memiliki
banyak kegiatan terkait riset dan restorasi atau rehabilitasi mangrove.
Di dunia internasional, Indonesia bergabung bersama negara-negara kepulauan di Asia Pasifik yang memperjuangkan laut dalam isu perubahan iklim. Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki mangrove seluas lebih dari 3 juta hektar didorong agar memimpin perjuangan ini.
Isu kelautan
Talanoa Dialogue yang dihasilkan dari COP Ke-23 Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bonn dengan tuan rumah Fiji jadi alat bagi Indonesia dan negara Asia Pasifik untuk menunjukkan data ataupun pengalaman penurunan emisi dari laut. Negara-negara pemilik laut ini mendorong agar isu kelautan mendapat tempat dalam pembahasan resmi COP UNFCCC, setidaknya pada 2020.
Sambil menjalankan negosiasi di dunia internasional yang tak mudah ini, pemerintah saat ini membangun kerangka kerja strategi kebijakan karbon biru (IBSF). Itu berada dalam payung rencana aksi nasional kebijakan kelautan Indonesia dan rencana aksi nasional tujuan pembangunan berkelanjutan 2020-2024.
Hendra Yusran Siry, Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim, Kementerian Kelautan dan Perikanan, menambahkan, karbon biru pada KKP tak mengarah ke perdagangan karbon. “Bagi kami, bagaimana mangrove sehat, lestari, dan bermanfaat bagi masyarakat. Jaminan ke arah ketahanan pangan,” ungkapnya.
Ia pun menyebutkan, saat ini strategi KKP dalam merehabilitasi ekosistem mangrove dengan mengamankan tempat hidupnya. Istilah mengamankan artinya menyiapkan substrat tempat hidup serta menjaganya dari gangguan abrasi.
Hal ini, lanjut Hendra, telah dipraktikkan dengan metode hybrid yaitu menjebak lumpur saat pasang-surut. Lumpur yang terjebak ini menjadi media dan penanaman mangrove. Hal ini sudah dipraktikkan di Demak, Jawa Tengah yang kehilangan 1.000 hektar lahan akibat terabrasi air laut.