Dubai, Rabu - Kendaraan tokoh pemberontak Syiah Hoti di Yaman, Saleh al-Samad, sedang berhenti menunggu rombongan konvoi yang lain di jalan yang sempit di Kota Hodeida, Yaman. Tidak disadari, sebuah pesawat tanpa awak yang dikendalikan pasukan Uni Emirat Arab melayang di atas kendaraannya. Beberapa detik kemudian, kendaraan Al-Samad meledak dihantam rudal.
Pesawat tanpa awak yang menembakkan rudal, April lalu, itu ternyata bukan buatan Amerika Serikat dan tidak termasuk bagian dari armada pesawat AS yang sibuk mondar-mandir di Yaman, Irak, dan Afganistan sejak 11 Septermber 2001. Pesawat tanpa awak bersenjata itu ternyata milik China dan buatan China.
Negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah tidak bisa membeli pesawat tanpa awak buatan AS gara-gara ada aturan persenjataan yang ketat. Oleh karena itu, pasar Timur Tengah kini diincar dan diperebutkan para pedagang senjata China yang kini menjadi distributor utama dunia untuk pesawat tanpa awak bersenjata.
“Kualitas teknologi China sekarang terbukti maju. China hanya tidak punya pasarnya. AS membatasi ekspor persenjataan ke wilayah itu sehingga malah menguntungkan China,” kata pengamat militer China dan mantan dosen di Universitas Teknik Pasukan Roket Tentara Pembebasan Rakyat China, Song Zhongping.
Semakin banyak negara di Timur Tengah yang membeli persenjataan dari China membuat pengaruh China semakin kuat di kawasan yang selama ini dianggap penting oleh AS. “Ini strategi membatasi AS dan China mengambil keuntungan dari itu. Saya kira China tidak akan terlalu terpengaruh pada kekhawatiran akan adanya korban sipil dari persenjataan mereka,” kata Douglas Barrie, spesialis kekuatan udara di Institut Studi Strategi AS.
Pada awal tahun ini, saat sedang melewati kawasan Arab Saudi selatan, satelit menangkap citra pesawat tanpa awak buatan AS di pangkalan udara bersanding dengan pesawat tanpa awak bersenjata milik China. Menurut Pusat Studi Pesawat Tanpa Awak di Bard College, New York, AS, citra satelit itu menjadi bukti pertawa bahwa kedua pesawat tanpa awak dari dua negara itu telah digunakan di perang Yaman.
“Yaman menjadi daerah tempat menguji pesawat tanpa awak yang bisa menyerang. Begitu barang dikirim, langsung dipakai di Yaman,” kata Wakil Direktur Pusat Studi Pesaawt Tanpa Awak AS, Dan Gettinger.
Lebih murah
Teknologi pesawat tanpa awak buatan AS pertama kali dipakai di Yaman tahun 2002 untuk menggempur Al Qaeda. Salah satu produk China yang paling banyak diekspor atau laris manis terjual adalah pesawat tanpa awak seri Cai-Hong atau Rainbow buatan perusahaan negara China Aerospace Science and Technology Corp (CASC). Ini merupakan kontraktor terbesar untuk program angkasa luar China. Kualitas model CH-4 dan CH-5 buatan CASC setara dengan pesawat tanpa awak buatan General Atomic’s Predator and Reaper di San Diego, AS. Namun harganya lebih murah.
Sebenarnya model produk China sedikit ketinggalan dari buatan AS tetapi teknologinya sudah cukup baik dengan harga yang masuk akal. Harga jualnya bisa setengah lebih murah dari harga yang dibandrol AS. Menurut pakar pesawat tanpa awak di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, Ulrike Franke, selain memberikan harga yang lebih baik, China juga tidak peduli dengan penggunaan pesawat tanpa awak.
Sejak 2014, China sudah menjual lebih dari 30 model CH-4 ke banyak negara seperti Arab Saudi dan Irak. Nilai kontraknya, menurut CASC, mencapai 700 juta dollar AS. Saat ini setidaknya ada 10 negara yang masih dalam proses negosiasi untuk membeli CH-4. Tahun lalu, China juga menjual Wing Loong II, pesawat tanpa awak bersenjata, ke Uni Emirat Arab. Wing Loong II itu setara dengan MQ-9 Reaper buatan AS. CASC menilai dalam beberapa tahun terakhir segala jenis pesawat tanpa awak makin laris karena makin dianggap penting dalam pertahanan keamanan.
Oleh karena itu, China menggenjot industri pertahanan keamanannya. Selama lima tahun berkuasa, Presiden China Xi Jinping menambah anggaran militer untuk membangun pesawat tempur dan pesawat pengangkut untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Selain itu, penjualan China juga meningkat untuk persenjataan penyerang kapal selam yang dijual ke Pakistan.
Meski sedang naik daun, industri pertahanan China tetap masih ketinggalan dari AS, Rusia, Perancis, dan Jerman dari sisi total penjualan persenjataan. Namun, menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm, China berusaha mengejar dan ini terlihat dari ekspor persenjataan China yang naik 38 persen antara 2008-2012 dan 2013-2017.
AS mulai melarang penjualan pesawat tanpa awak ketika kecaman komunitas internasional kian gencar terkait banyaknya jumlah korban sipil yang tewas di Yaman. Yayasan Amerika Baru di Washington, AS, memperkirakan terjadi lebih dari 240 serangan pesawat tanpa awak di Yaman hingga menewaskan sedikitnya 1.300 orang. (AP)