Kekerasan Seksual yang terjadi di masyarakat saat ini semakin memprihatinkan, karena modusnya makin canggih. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan menjawab persoalan itu,
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual secara normatif sejatinya dilarang oleh agama mana pun dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian. Karena itu, kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak bagi bangsa Indonesia, karena undang-undang tersebut dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dari kasus kekerasan seksual yang belakangan ini semakin marak terjadi di tengah masyarakat.
Selain akan mengisi kekosongan hukum terkait perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, undang-undang tersebut akan memudahkan aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku kekerasan seksual, serta melahirkan penegak hukum yang berperspektif keadilan jender dan memiliki keberpihakan pada korban.
Oleh karena itu Dewan Perwakilan Rakyat harus segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual agar segera disahkan menjadi undang-undang, sehingga bisa diimplementasikan secepatnya di tengah masyarakat.
Harapan ini mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Panitia Kerja Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dengan forum keagamaan, Rabu (3/10/2018) di Ruang Komisi VIII DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Rapat tersebut dipimpin Ketua Panja mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual DPR Marwan Dasopang yang juga Wakil Ketua Komisi VIII. Pihak yang hadir memberikan pandangan antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Jaringan Ulama Perempuan Indonesia.
Dewan Pimpinan MUI yang antara lain diwakili Prof Amany Lubis, Ketua Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga dan sejumlah pengurus komisi menyampaikan sikap dan pandangannya MUI terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual serta menyampaikan Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-6 tahun 2018 di Kalimantan Selatan.
"MUI menyetujui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan alasan bahwa banyak undang-undang yang belum menyentuh beberapa permasalahan yang ada dalam RUU ini. Misalnya UU 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga belum menjangkau kekerasan seksual dalam rumah tangga, juga tentang eksploitasi dan perbudakan seksual, pemakaian paksa alat kontrasepsi, dan aborsi paksa juga belum ada," ujar Amany.
Secara filosofis, tujuan RUU tersebut mulia yaitu melindungi martabat manusia dan melindungi dari ancaman kekerasan yang bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, khususnya perlindungan hak asasi manusia.
Dibahas hati-hati
MUI mendukung RUU tersebut, namun harus dibahas secara cermat dan hati-hati, perlu sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain yang setingkat dan lebih tinggi serta sesuai dengan nilai dan prinsip ajaran agama yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
MUI menyatakan keprihatinan mendalam atas makin meningkatnya kekerasan seksual di Indonesia. Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 ditemukan bahwa 1 dari 3 perempuan usia antara 15 -65 tahun di Indonesia mengalami kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidup mereka.
Begitu juga hasil kajian Komnas Perempuan terhadap 10 tahun Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (Catahu) Tahun 2001-2011) menyimpulkan rata-rata ada 35 orang menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya di Indonesia. Dalam 3 tahun terakhir (2015-2017) kekerasan seksual di tanah privat/personal meningkat ke peringkat kedua tertinggi setelah kekerasan fisik di mana kasus hubungan sedarah merupakan kasus tertinggi (1.210 kasus tahun 2017).
Bagi MUI, kekerasan seksual yang terjadi di manapun - baik di ruang publik, di komunitas, di tempat kerja, maupun di rumah tangga - merupakan tindakan yang diharamkan oleh Islam dan bertentangan dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketua Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia PGI, Johny Nelson Simanjuntak menyampaikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dibutuhkan untuk merespon dan menyikapi kasus-kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di masyarakat. "Kami mendukung dan mendorong DPR menuntaskan pembahasan dan menyetujui RUU tersebut," kata Johny.
Jika UU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan, PGI bersedia menfasilitasi gereja-gereja anggotanya untuk membangun sinergi dengan berbagai pemangku kebijakan dalam mengimplementasikan UU tersebut.
DPP Walubi yang diwakili Esther Setiawati dan Aju Tiarawati juga menyatakan dukungan kepada DPR untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. "Kami mendukung rumusan RUU yang menjawab kebutuhan dan kepentingan korban sehingga akses keadilan bagi korban dapat diciptkan, sehingga kekerasan tidak terus terjadi," kata Esther.
Adapun pimpinan Jaringan Ulama Perempuan Indonesia yang diwakili Badriyah Fayumi, Maria Ulfah Ansor menyampaikan, UU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting agar menjadi instrumen untuk membangun peradaban bangsa yang berkemajuan dan berkeadilan bagi seluruh warga negara, agar bebas dari segala bentuk kedzoliman termasuk kekerasan dan diskriminasi. Itu sejalan dengan kearifan nusantara yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai implementasi nilai-nilai ketauhidan.
Pengesahan RUU ini menjadi UU juga akan berkontribusi pada lahirnya budaya baru yang lebih adil dan beradab dalam melihat persoalan kekerasan seksual dan dampaknya bagi korban, keluarga, komunitas, dan negara.
Diah Pitaloka, Anggota Komisi VIII dari Fraksi PDIP menegaskan semangat UU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak, karena merupakan output dari kegelisahan masyarakat tentang makin maraknya kejahatan seksual saat ini. Karena itu, dia mengingatkan jangan sampai semangat untuk pembahasan dan pengesahan UU tersebut malah mundur, hanya karena ada ketakutan dan sikap skeptis semata.