TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Gelombang budaya Korea atau Hallyu dinilai berkontribusi dalam membangun kedekatan hubungan bilateral Indonesia dan Korea Selatan. Kedekatan ini juga didorong oleh kebijakan Korsel yang memprioritaskan Indonesia sebagai mitra strategis spesial.
Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Kim Chang-beom mengatakan, Hallyu dalam bentuk produk-produk asal Korsel, K-Pop, dan K-Drama berhasil menciptakan citra baik bagi Korsel di mata masyarakat Indonesia. Hasilnya, masyarakat Indonesia dapat lebih mengenal Korsel.
”K-Wave atau Hallyu menjadi soft power (kekuatan lunak) bagi Korsel untuk mempromosikan merek-merek asal Korsel. Presiden Jokowi sendiri mengaku sebagai penggemar grup boyband Super Junior,” katanya, Kamis (4/10/2018), sambil menunjukkan swafoto Presiden Joko Widodo dengan Super Junior dalam kuliah umum di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang Selatan.
Hallyu dimulai pada tahun 1990-an dengan berkembangnya minat masyarakat Jepang dan China terhadap film, drama, dan musik Korea. Dalam perkembangannya, gelombang ini merambah Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika dalam bentuk yang lebih beragam, termasuk minat belajar bahasa Korea dan makanan Korea.
”Rahasia dari keberhasilan Hallyu adalah, pertama, regulasi pemerintah yang lebih sedikit. Jika terlalu banyak peraturan untuk grup boyband atau girlband, BTS (grup boyband) tidak akan sukses. Peraturan minimal adalah skema yang terbaik,” papar Kim.
Rumus kesuksesan Hallyu yang kedua adalah investasi jangka panjang di sektor privat. Ketiga, penggunaan aktif media sosial yang dibarengi dengan pembuatan konten orisinal. Kim mengatakan, kiat-kiat ini memperkuat daya tarik merek-merek Korea serta mendorong riset dan pengembangan yang berkelanjutan.
Hasilnya, volume perdagangan Indonesia dengan Korsel mencapai 16 miliar dollar AS sejak Januari 2018. Angka itu diproyeksikan meningkat 25 persen menjadi 20 miliar dollar AS di akhir 2018. Berbagai produk diminati warga Indonesia, mulai dari gawai hingga produk kosmetik dan kecantikan. Jumlah perusahaan Korsel yang beroperasi di Indonesia telah mencapai 3.000 perusahaan dan telah merekrut hingga 1 juta tenaga kerja.
Di bidang kebudayaan, jumlah mahasiswa Indonesia di Korsel mencapai 1.340 orang, sedangkan 1.000 mahasiswa Korsel belajar di Indonesia. Minat belajar bahasa Korea yang tinggi di Indonesia juga difasilitasi oleh Program Studi Bahasa Korea di Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Nasional. Tiga pusat kebudayaan Korsel juga telah dibuka di Jakarta, seperti Institut King Sejong dan Korean Cultural Centre.
Kim menambahkan, kerja sama Indonesia dan Korsel bukan kerja sama strategis biasa, melainkan kerja sama strategis yang sangat spesial. Sebab, Indonesia adalah satu-satunya dari 10 negara ASEAN yang mendapatkan status mitra kerja sama strategis Korsel. Status ini didapatkan Indonesia saat Presiden Moon Jae-in berkunjung ke Indonesia pada November 2017. Kemitraan ini terwujud dalam investasi.
”Pada 1960-an, Indonesia adalah tujuan pertama investasi Korsel di bidang kehutanan, perminyakan, dan manufaktur. Kini, Korsel juga menjadi negara pertama yang berinvestasi dalam bentuk kereta ringan (LRT) dan internet 5G di Indonesia,” ujar Dubes Kim.
Pada tataran diplomatis, Pemerintah Korsel berusaha menunjukkan signifikansi Indonesia. Dalam lawatan pada 9 September 2018, Presiden Jokowi dan Ibu Iriana Joko Widodo diterima Presiden Moon di Istana Gyeongbok, Seoul. Presiden Jokowi menjadi pemimpin negara pertama yang disambut di istana tersebut, sementara perwakilan negara biasanya diterima di Gedung Biru, Seoul.
Kedekatan Indonesia dengan Korsel juga didorong oleh kesamaan tujuan keduanya. Menurut Dubes Kim, kedua negara sama-sama menerapkan demokrasi, ekonomi pasar, supremasi hukum. ”Ini memudahkan kita untuk bekerja dan maju bersama,” katanya. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)