Produksi dan Perdagangan Narkoba di Asia Tenggara Capai Angka Tertinggi
Oleh
Elok Dyah Messwati
·2 menit baca
Produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang (narkoba) di area Mekong, Asia Tenggara, dan Asia Timur mencapai angka tertinggi yang belum terjadi sebelumnya. Hal tersebut diungkap Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Selasa (2/10/2018). Laporan sekaligus memperingatkan bahwa kelebihan pasokan narkoba akan meningkatkan risiko bagi penggunanya yang lebih muda.
Pejabat dari Kantor PBB untuk urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) di perwakilan regional Jeremy Douglas mengatakan bahwa ketika pihak berwenang menyita narkoba dalam jumlah yang lebih besar, kelebihan pasokan justru menekan harga sehingga mengakibatkan beberapa jenisnya, seperti metamfetamin, kian terjangkau warga yang lebih muda.
”Pasokan narkoba terus meningkat karena kejahatan terorganisasi meningkatkan jumlah pasokan dan membanjiri wilayah itu dengan produk-produk mereka,” kata Douglas menjelang pertemuan di Bangkok, Thailand, untuk membahas tren perkembangan narkoba.
Data PBB pada tahun 2018 menunjukkan, di Thailand, misalnya, harga tablet metamfetamin sebesar 1,5 dollar AS-4,5 dollar AS (Rp 22.500-Rp 67.500) pada tahun 2017. Harganya turun dari kisaran 4 dollar AS-7 dollar AS (Rp 60.000-Rp 105.000) pada tahun 2014.
Di negara kota Singapura yang kaya, harga metamfetamin makin jatuh di bawah 6 dollar AS (Rp 90.000) pada tahun 2017, dari harga 20 dollar AS (Rp 300.000) pada tahun 2014.
”Lonjakan pasokan tablet ’yaba’ telah mendorong harganya di jalanan turun di seluruh wilayah, membuatnya makin terjangkau pengguna yang lebih muda yang baru diperkenalkan menggunakan narkoba,” kata Douglas yang menggunakan istilah Thailand ’yaba’ untuk tablet metamfetamin.
Polisi menyita lebih dari 14 juta pil metamfetamin senilai 45 juta dollar AS (Rp 677,7 miliar) di salah satu penyelundupan narkoba terbesar di Thailand pada Agustus. Negara tetangga Malaysia melakukan penyitaan metamfetamin terbesar pada Mei, yakni hampir 1,2 ton narkoba, yang disamarkan sebagai teh dalam pengiriman dari Myanmar.
UNODC mengatakan pada tahun 2017 bahwa sebagian besar produksi sabu di Asia Tenggara berasal dari wilayah tanpa hukum di Myanmar, khususnya Negara Bagian Shan. (REUTERS)