Elon Musk dipaksa harus mundur sebagai Chairman of Tesla dan harus membayar denda sebesar 20 juta dollar AS akhir pekan lalu. Keputusan ini dilakukan oleh otoritas pengawas pasar modal Amerika Serikat (SEC) menyusul cuitan Musk di media sosial Twitter tanggal 7 Agustus lalu yang dinilai menyebabkan kebingungan investor hingga saham Tesla di bursa New York jatuh. Cuitan termahal di dalam sejarah media sosial.
Bulan lalu, CEO Tesla Elon Musk membuat sebuah unggahan di media sosial, yaitu di Twitter. Ia menulis dalam akun @elonmusk, ”Am considering taking Tesla private at $420. Fundind secured”. Unggahan ini ditafsirkan bila Tesla akan keluar dari bursa saham alias tidak lagi menjadi perusahaan publik. Pendanaan untuk pembelian saham pada harga itu sudah tersedia. Sontak pernyataan ini mengagetkan para investor. SEC sendiri menerima 147 halaman komplain terhadap pernyataan Musk itu.
Musk adalah CEO yang dikenal sangat revolusioner dalam pengembangan bisnis dari mulai sistem pembayaran Paypall, peluncuran roket ke ruang angkasa Spacex, pengembangan kendaraan listrik Tesla, produksi energi listrik dengan tenaga matahari dalam jumlah besar Solar City, dan ide kendaraan super cepat Hyperloop. Akan tetapi, beberapa pernyataannya dinilai kontroversial. SEC mengatakan, pernyataan Musk di Twitter dikategorikan sebagai membingungkan, menyesatkan, dan tak berdasar fakta memadai sehingga menimbulkan chaos di pasar.
Kasus Musk ini kembali menjadi pelajaran bagi para CEO dalam mengelola akun media sosial. Secara prinsip media sosial harusnya bukanlah sesuatu yang baru bagi CEO dalam bersikap terhadap suatu masalah. Media sosial hanyalah mengubah cara mereka berkomunikasi dengan pihak lain atau publik. Mereka sebenarnya telah mengetahui sesuatu yang baik dikabarkan ke publik dan sesuatu yang harus tetap disimpan sebagai rahasia perusahaan atau sesuatu yang belum saatnya diketahui publik.
Berdasar daftar CEO yang masuk ke dalam Fortune 500 diketahui sebanyak 60 persen CEO tidak aktif di media sosial. Sebanyak 13 persen aktif dan bahkan memiliki beberapa kanal media sosial. Beberapa CEO global yang aktif di media sosial antara lain Mark Zuckerberg, Marck Benioff, dan Elon Musk.
Ada riset lain yang menyebutkan CEO dari perusahaan teknologi, ritel, media dan hiburan adalah mereka yang sangat aktif di media sosial, sementera perusahaan energi dan penerbangan kurang aktif . Perusahaan yang berhadapan langsung dengan konsumen (B2C) juga banyak berselancar di media sosial, sementara perusahaan yang banyak berhubungan dengan pebisnis lain (B2B) lebih banyak memilih untuk berhati-hati.
Meski demikian, tak ada patokan yang pasti apakah seorang CEO perlu atau tidak menggunakan media sosial. Di beberapa negara tekanan agar bisnis makin transparan mendorong CEO mengarungi media sosial. Tidak sekedar urusan menanggapi keluhan konsumen, CEO juga diharapkan bisa berbagai pemikirannya dan juga tren di industri yang dipimpin sehingga memberi pencerahan pada publik. Akan tetapi, semua ini dikembalikan ke CEO itu sendiri soal kebutuhan bermedia sosial.
Pada prinsipnya kembali kepada hakikat, informasi mana yang yang harus dikomunikasikan ke publik dan mana yang hanya untuk kebutuhan internal. Media sosial hanyalah fasilitas untuk berkomunikasi, sama seperti media yang lain. Kesadaran tentang materi-materi itu untuk dikomunikasikan ke publik atau tidak lebih penting dibandingkan keputusan untuk bermedia sosial atau tidak.
Ketika kesadaran itu ada dan memutuskan memasuki media sosial, maka seorang CEO perlu siap untuk berkomunikasi langsung dengan publik. Tetap berhati-hati dan memilah informasi agar tidak terkena masalah seperti cuitan termahal dalam sejarah media sosial.