Pemerintah China membantah semua publikasi negatif mengenai kamp tahanan massal yang berisi ratusan ribu warga etnis minoritas Uighur di Provinsi Xinjiang. China juga membela kebijakannya di Xinjiang sebagai bagian dari perang melawan teror.
Beijing menghadapi kecaman dari dunia internasional, termasuk dari pemerintahan, organisasi HAM, aktivis dan akademisi, terkait kamp tahanan massal di Xinjiang. Pemerintah AS bahkan sedang memulai proses pemberian sanksi terhadap sejumlah pejabat senior China yang terkait dengan pelanggaran HAM di wilayah ini.
Namun, Beijing berdalih, Xinjiang menghadapi ancaman serius dari kelompok militan dan separatis. Apa yang dilakukan pemerintah China di Xinjiang adalah untuk menangkal ekstremisme. Beijing juga menolak semua tuduhan mengenai "penanganan buruk" terhadap etnis Uighur, maupun etnis Han di wilayah itu.
Menurut para pejabat China, apa yang mereka berikan di kamp-kamp tahanan adalah kursus-kursus " kejuruan" untuk mengendalikan ekstremisme. Dalam tulisannya di The Jakarta Post berjudul "Xinjiang, What A Wonderful Place", Dubes China untuk Indonesia Xiao Qian menyatakan, hak-hak beragama warga di sana dilindungi dan dihormati.
"Namun, disayangkan, sejumlah institusi dan pihak Barat melakukan standar ganda dengan sengaja mendistorsi fakta-fakta, berspekulasi tentang apa yang disebut "kamp reedukasi" dan salah merepresentasikan upaya pemerintah China untuk mencegah ekstremisme agama dan upaya deradikalisasi," tulis Qian.
Dubes China di Inggris, Liu Xiaoming, juga menuliskan opininya di Financial Times dan The Economist yang membela kebijakan Beijing.
Pada September lalu, pemerintah China juga mengundang sejumlah wartawan asing dan memberikan penjelasan di sela-sela pertemuan di Dewan HAM di Geneva. Direktur publikasi Biro HAM yang juga juru bicara kabinet Li Xiaojun membantah bahwa China telah memperlakukan dengan buruk etnis minoritas di Xinjiang. "Lihat Belgia, lihat Paris, dan sejumlah negara lain, Anda gagal," kata Li merujuk pada serangan teror di negara-negara itu.
Meski demikian, sejumlah kelompok HAM maupun mereka yang berada di pengasingan mengaku tidak terkesan dengan bantahan China. "Apa yang kita lihat sekarang adalah lebih dari represi: ini adalah tindakan asimiliasi yang disengaja oeleh pemerintah China terhadap identitas Uighur," kata Dolkun Isa, pimpinan dari Kongres Dunia Uighur yang berada di pengasingan.
China menyatakan, kebijakan keras di Xinjiang, yang lokasinya strategis karena berbatasan dengan Afganistan, Asia Tengah, India dan Pakistan, sebagai upaya "perang melawan teror".
Setiap negara, kata Wakil Menlu Le Yucheng kepada Financial Times, bertanggung jawab untuk melindungi keamanan dan warganya. "Pemerintah China tidak akan membiarkan Xinjiang menjadi Suriah kedua, Libya kedua atau Irak kedua ," ujar Le. "Jika kerusuhan di Xinjiang melampaui perbatasan, ini akan mempengaruhi stabilitas Asia Tengah dan Timur Tengah dan mungkin sampai ke Eropa." (REUTERS)