148 Juta Penduduk Indonesia Berpotensi Jadi Korban Gempa, 3,8 Juta Terancam Tsunami
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat perlu menyadari, wilayah Indonesia rawan tsunami. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, 148,4 juta jiwa penduduk Indonesia hidup dalam ancaman gempa bumi dan 3,8 juta jiwa terancam tsunami. Penduduk yang terpapar tsunami hanya memiliki waktu untuk menyelamatkan diri kurang dari satu jam karena tsunami di Indonesia bersifat lokal.
Sumber gempa pemicu tsunami berada di sekitar wilayah Indonesia. Dengan kondisi terancam bahaya gempa dan tsunami setiap saat, selain warga yang harus sadar ancaman bencana bisa datang kapan saja, pemerintah juga diharapkan perlu lebih tanggap dalam menyediakan sarana dan prasarana serta dana untuk mitigasi bencana.
BNPB mencatat, antara tahun 1629 dan 2018 terdapat 176 tsunami dengan skala besar dan kecil. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, daerah di Indonesia yang rawan terjadi gempa dan tsunami ialah Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
”Indonesia dilalui tiga lempeng bumi yang menyebabkan gempa dan tsunami,” kata Sutopo di Jakarta, Rabu (3/10/2018).
Nova Heryandoko dari Bagian Operasional Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menjelaskan, tiga lempeng bumi yang ada di Indonesia ialah lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Nova menyebutkan, apabila ada salah satu lempeng pecah atau dua lempeng mengalami tumbukan, maka dapat terjadi gempa. Gempa merupakan aktivitas tektonik dan kemungkinan akan terjadi di tempat lain karena lempeng bumi tidak diam.
Sutopo menuturkan, Indonesia memiliki sejarah gempa dangkal yang membangkitkan tsunami, khususnya di kawasan Indonesia bagian timur. Sayangnya, riset mengenai gempa masih minim dan sarana prasarana serta sosialisasi terkait tsunami juga masih minim.
Ia mencontohkan, pada 1674 terjadi gempa dan tsunami di Ambon, Maluku, dengan ketinggian tsunami 80 meter hingga 100 meter. Bencana ini mengakibatkan 2.243 orang tewas.
Pada 1992 terjadi gempa berkekuatan 7,8 skala Richter yang diikuti tsunami dengan ketinggian 36 meter di Flores, Nusa Tenggara Timur. Bencana ini mengakibatkan 2.600 orang tewas dan hilang serta 18.000 rumah rusak di Kabupaten Ende, Ngada, Sikka, dan Flores Timur.
Respons kurang
Melihat tingginya bahaya gempa dan tsunami di Indonesia, dibutuhkan mitigasi bencana yang perlu dilakukan oleh masyarakat serta pemerintah. Namun, penelitian yang dilakukan Universitas Syiah Kuala, Aceh, bersama dengan Jepang pada 2012 terhadap 813 responden menyebutkan, 71 persen responden belum pernah ikut latihan migitasi bencana. Akibatnya, mereka panik dan tidak tahu cara menyelamatkan diri saat terjadi bencana.
Di sisi lain, Sutopo memandang, dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih sangat terbatas untuk kepentingan mitigasi bencana tsunami. ”Idealnya, minimal kita memiliki dana siap pakai sebesar Rp 15 triliun untuk mitigasi dan penanganan bencana gempa serta tsunami,” ucapnya.
Sejak 2012, BNPB sudah membahas dengan DPR adanya asuransi untuk korban bencana gempa dan tsunami. Sayangnya, hingga sekarang asuransi tersebut belum terealisasi. Menurut Sutopo, investasi mitigasi bencana dapat mengurangi nilai kerugian dari sebuah bencana alam.
Kesadaran yang kurang juga terlihat dari perawatan serta pengadaan sarana dan prasarana. Salah satu fenomena yang memprihatinkan iaalah hilangnya buoy tsunami yang berfungsi sebagai salah satu bagian dari peringatan dini tsunami.
Indonesia memiliki 22 buoy tsunami yang dipasang di perairan Indonesia yang dibangun pada 2008. Namun, sejak 2012 buoy tsunami sudah tidak dapat beroperasi lagi karena terjadinya vandalisme. Selain itu, biaya pemeliharaan dan pengoperasian buoy tsunami terbatas.
Saat ini, Indonesia hanya mengandalkan lima buoy tsunami milik internasional yang berada di sekitar wilayah Indonesia. Satu unit di barat Aceh milik India, satu unit di Laut Andaman milik Thailand, dua unit di selatan Sumba milik Australia, dan satu unit di utara Papua milik Amerika Serikat.
Sutopo menjelaskan, harga satu buoy tsunami produksi Amerika Serikat Rp 7 miliar hingga Rp 8 miliar, sedangkan buatan Indonesia Rp 4 miliar. Ia berharap ada buoy yang ditanam di dasar laut untuk menghindari terjadinya vandalisme.
Kekurangan infrastruktur serta sarana dan prasarana mitigasi bencana tsunami juga masih terjadi di Indonesia. Sutopo menyebukan, dari 1.000 sirene yang dibutuhkan, Indonesia hanya memiliki 56 unit.
Selain itu, Indonesia juga masih kekurangan digital video broadcast, seismometer, akselerometer, radar pantai, intensity meter, jalur evakuasi, tempat evakuasi sementara, papan peringatan, dan rambu evakuasi.
Pengurangan risiko
Sutopo menyebutkan, pemerintah perlu melanjutkan rencana induk untuk mengurangi risiko bencana tsunami di Indonesia. Pertama, penguatan rantai peringatan dini tsunami.
Kedua, pembangunan dan peningkatan tempat evakuasi sementara. Ketiga, penguatan kapasitas kesiapsiagaan. Keempat, pembangunan kemandirian industri kebencanaan.
Di samping itu, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) juga perlu dipadukan dengan kearifan lokal. Menurut Sutopo, masyarakat Indonesia sering lebih percaya pada kearifan lokal daripada iptek. Namun, kearifan lokal sulit untuk mengidentifikasi bencana karena ancaman bencana semakin meningkat.
”Iptek saja juga sulit untuk menyadarkan masyarakat karena mereka belum percaya sepenuhnya pada peringatan yang dihasilkan oleh sebuah alat sehingga banyak sistem peringatan dini yang rusak,” ujar Sutopo.
Oleh karena itu, perlu ada perpaduan antara iptek dan kearifan lokal dalam penanggulangan bencana.