JAKARTA, KOMPAS — Dalam salah satu skenario neraca gas bumi 2018-2027 yang disusun pemerintah, ada potensi defisit gas di dalam negeri lantaran tak seimbangnya permintaan dan pasokan. Defisit hanya terjadi di beberapa wilayah, khususnya di Jawa. Realisasi sejumlah proyek lapangan gas akan menentukan kondisi defisit gas bumi di Indonesia.
Dalam paparan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar pada peluncuran buku Neraca Gas Bumi Indonesia 2018-2027, Senin (1/10/2018), di Jakarta, defisit gas bumi tidak akan terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Defisit, seandainya terjadi, akan dialami wilayah Jawa bagian timur, Maluku, Sulawesi, dan Papua. Potensi defisit akan terjadi mulai 2023.
”Namun, bila dalam satu wilayah terjadi defisit, kekurangan itu akan ditutup dari wilayah lain yang surplus. Akan dilakukan transfer volume (gas bumi). Selain itu, ada catatan bahwa dengan pertumbuhan konsumsi gas industri sebesar 1,1 persen per tahun, defisit gas tidak akan terjadi,” kata Arcandra.
Arcandra mengakui, salah satu kunci penting mengatasi defisit gas di dalam negeri adalah tersedianya infrastruktur gas, seperti unit penyimpanan dan regasifikasi terapung (FSRU) dan jaringan pipa gas. Apalagi, saat ini baru ada dua FSRU yang aktif beroperasi kendati belum optimal, yaitu FSRU Lampung dan FSRU Jawa Barat. FSRU Lampung dioperasikan PT Perusahaan Gas Negara Tbk, sedangkan FSRU Jawa Barat dioperasikan PT Nusantara Regas.
Persoalan lain, lanjut Arcandra, adalah masalah harga gas. Kendati pasokan gas tersedia, volumenya tidak terserap lantaran konsumen menilai harganya terlalu tinggi. Ia mencontohkan harga gas di Sumatera Utara yang mencapai 9,95 dollar AS per MMBTU di tingkat pengguna akhir.
”Gas di region 1 (Aceh dan Sumatera Utara) akan surplus sampai 2027. Namun, seandainya dipasok untuk wilayah yang defisit gas, apakah ada pembelinya? Gas di region 1 dikenal mahal. Harga di hulunya saja 6,23 dollar AS per MMBTU dan menjadi 9,95 dollar AS per MMBTU di pengguna akhir,” ucap Arcandra.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan, neraca gas bumi yang disusun pemerintah memberi gambaran bagi perusahaan dalam menyusun perencanaan bisnis. Neraca tersebut, lanjutnya, memberi ruang diskusi bagi pelaku usaha untuk mengambil berbagai kemungkinan yang ada terkait pemanfaatan gas di dalam negeri.
”Dengan adanya skenario-skenario yang disusun pemerintah terkait neraca gas bumi, itu memberi ruang bagi kami untuk mengkaji berbagai kemungkinan yang ada (terkait bisnis gas bumi),” kata Marjolijn.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah tidak menutup opsi impor seandainya defisit gas tidak bisa dicukupi dari wilayah-wilayah yang mengalami surplus gas. Hanya saja, belum bisa diprediksi kapan seluruh wilayah di Indonesia mengalami defisit.
”Defisit dalam skenario pemerintah, kan, hanya terjadi di beberapa wilayah. Kalau memang tidak cukup (pasokan gas) dan sudah habis (cadangan gas) di mana-mana, ya impor. Tapi, kan, belum diketahui itu terjadi kapan,” ujar Djoko.
Dalam sistem pasokan dan permintaan pada neraca gas bumi Indonesia, pemerintah membagi dalam tiga skenario. Dalam skenario pertama yang disusun pemerintah tidak terjadi defisit gas bumi sampai 2027. Namun, pada skenario dua dan ketiga terdapat potensi defisit gas bumi mulai 2025 untuk skala nasional.
Perbedaan skenario terjadi pada permintaan gas bumi untuk sektor kelistrikan, industri ritel, dan industri nonritel. Pada skenario pertama angka pertumbuhan permintaan gas terhadap ketiga sektor tersebut tetap, yaitu 1,1 persen per tahun. Adapun skenario kedua dan ketiga diproyeksikan, pertumbuhan permintaan sebesar 5,5 persen serta tambahan kemungkinan munculnya permintaan baru.
Cadangan gas bumi Indonesia per 1 Januari 2017 adalah 142,72 triliun kaki kubik. Seandainya tidak ada penemuan cadangan baru dan konsumsi gas sebesar 2,9 triliun kaki kubik per hari, cadangan tersebut akan habis dalam kurun 49 tahun mendatang.