Patuhi Norma Sosial Saat Berinteraksi di Dunia Digital
Oleh
Haris Firdaus
·3 menit baca
WONOSARI, KOMPAS — Kementerian Komunikasi dan Informatika mengingatkan masyarakat untuk mematuhi norma-norma sosial yang berlaku di dunia nyata, misalnya saling menghormati dan tenggang rasa, saat berinteraksi di dunia digital. Selama ini, banyak persoalan muncul di dunia digital karena sebagian warga tidak menjadikan norma-norma sosial semacam itu sebagai pedoman saat menggunakan internet.
”Kalau kita mau membawa norma atau budaya yang sudah kita bangun sekian lama di dunia nyata ke dunia siber, tidak akan ada masalah,” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Semuel Abrijani Pangerapan dalam acara Temu Netizen Jogja, Selasa (2/10/2018), di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Semuel menuturkan, selama ini, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang memiliki sikap sopan santun, saling menghormati, dan tenggang rasa dalam pergaulan sehari-hari di dunia nyata. Namun, dalam interaksi di dunia digital, sikap-sikap semacam itu justru sering tidak tampak.
Selama beberapa tahun terakhir, banyak warga yang saling caci-maki, menghujat, dan bahkan menyebar kabar bohong di dunia digital, terutama melalui media sosial. Kondisi itu menunjukkan ada perbedaan sikap saat seseorang berperilaku di dunia nyata dan dunia digital.
”Kita ini, kan, selalu tepo slira (tenggang rasa), saling menghormati, santun dalam bertutur kata (di dunia nyata). Tapi, kenapa kita bisa menjadi orang yang lain saat kita ada di dunia siber?” ungkap Semuel.
Menurut Semuel, kondisi itu terjadi karena sebagian warga belum benar-benar memahami karakteristik dunia digital. Saat berinteraksi di dunia digital, sebagian warga mungkin mengira identitas asli mereka tak akan ketahuan. Selain itu, ada pula yang beranggapan perkataan mereka di dunia digital tak akan diketahui pihak lain.
Padahal, kata Semuel, semua perkataan ataupun tindakan di dunia digital akan sangat mudah dilacak karena perkataan ataupun tindakan itu meninggalkan jejak digital. Pada masa sekarang, jejak digital semacam itu sangat mudah dilacak dengan bantuan teknologi tertentu.
”Di dunia siber, kalau kita melakukan sesuatu, bisa ditelusuri jejaknya. Jadi, kita enggak bisa lari,” ujar Semuel.
Semuel juga mengingatkan, perkataan ataupun tindakan di dunia digital yang telah dihapus pun tetap bisa dilacak dengan bantuan teknologi. ”Mungkin kita sudah menghapus, tapi jejaknya tetap bisa dicari karena ada archive (arsip). Jadi, apa pun yang kita lakukan, hati-hati karena enggak bisa dihapus,” katanya.
Semuel menambahkan, perkataan ataupun tindakan di dunia digital juga sangat mudah diketahui pihak lain. Oleh karena itu, apa pun tindakan kita di dunia digital akan dengan mudah pula menyulut reaksi, baik yang mendukung maupun menentang. ”Ada orang yang senang dan ada orang yang membenci kita kalau kita enggak hati-hati,” ucapnya.
Menurut Semuel, pada era sekarang, jejak digital menjadi kian penting dan dipertimbangkan dalam banyak hal, termasuk dalam perekrutan pegawai di perusahaan ataupun lembaga. Hal ini karena jejak digital bisa memberikan informasi yang sangat kaya mengenai profil seseorang. ”Maka, kita harus hati-hati karena jejak digital enggak bisa dihapus,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, salah seorang penggagas Grup Facebook Info Cegatan Jogja, Yanto Sumantri, berharap penanganan masalah di dunia digital bisa dilakukan secara lebih efektif. Dia mencontohkan, terkait dengan pemblokiran situs yang berisi konten negatif, selama ini pemerintah hanya memerintahkan internet service provider (ISP) atau perusahaan penyedia jasa internet untuk menutup akses ke situs itu.
Padahal, saat ini, aplikasi atau teknologi untuk menembus cara pemblokiran semacam itu sangat banyak sehingga pemblokiran itu bisa dengan mudah ditembus. ”Jadi, kalau bisa, saat memblokir situs, domain situs itu yang kita ambil alih, bukan hanya akses ke domain tersebut yang ditutup,” ujar pria yang akrab dipanggil Antok itu.