JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan alat berat menjadi penting dan mendesak dalam penanganan bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Sebab, akses bantuan dan petugas tertahan di sekitar Palu dan tidak dapat menjangkau wilayah lain yang terdampak. Tanpa alat berat, upaya evakuasi korban yang terperangkap reruntuhan dan tertimbun lumpur menjadi mustahil.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Selasa (2/10/2018) siang mencatat, jumlah korban jiwa 1.234 orang akibat gempa dan tsunami yang melanda pantai timur Sulawesi Tengah, Jumat lalu. Jumlah itu diperkirakan masih akan terus meningkat. Ini karena diduga masih banyak jenazah korban yang tertimbun reruntuhan bangunan ataupun lumpur belum ditemukan.
”Sebagian besar meninggal karena rumahnya ambles atau tertimbun likuefaksi lumpur,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta.
Alat berat, kata Sutopo, akan digunakan baik untuk mengevakuasi korban maupun membuka akses jalan darat menuju wilayah yang belum tersentuh.
Likuefaksi sering terjadi pada tanah berpasir yang jenuh dan longgar atau berkepadatan rendah. Pasir cenderung memampat saat terbebani gempa, lalu melonggar atau melebar setelah gempa, seolah mengisap bangunan di atasnya (Kompas, 1/10/2018).
Kini, prioritas penanganan darurat yang utama adalah proses evakuasi, pencarian, dan penyelamatan korban, kata Sutopo. Saat ini ada 16 alat berat yang dikerahkan dalam membantu evakuasi. Jumlah ini akan terus bertambah dari wilayah-wilayah tetangga, seperti Mamuju, Gorontalo, Poso, dan bahkan Balikpapan, Kalimantan Timur.
Sutopo memperkirakan, masih ada ratusan korban jiwa yang jenazahnya tertimbun lumpur dan bangunan rumah warga di Kelurahan Petobo ataupun di Balaroa.
Di Perumnas Balaroa, gempa menyebabkan likuefaksi yang kemudian mengakibatkan amblesnya tanah dan beserta pengangkatan tanah. Sebanyak 1.747 rumah diperkirakan hancur akibat gempa tersebut. Sementara itu, di Petobo, likuefaksi lumpur mengakibatkan sejumlah rumah terbenam lumpur hingga 3 meter. Diperkirakan 744 rumah di Petobo rusak.
Selain evakuasi korban, alat berat juga mendesak dibutuhkan untuk membuka akses jalur darat menuju wilayah terdampak yang belum tersentuh penanganan bencana. Sutopo mengatakan, selama ini, bantuan masih terfokus di Palu. Bantuan dan konsentrasi personel belum dapat diarahkan menuju daerah yang masih terputus aksesnya.
”Daerah yang belum menerima bantuan itu masih banyak, bahkan masih banyak yang belum tersentuh. Contoh, Donggala. Donggala yang sudah terdata itu hanya yang berbatasan dengan Palu. Donggala yang bagian utara belum ada laporan sama sekali dari sana,” katanya.
”Korban-korban warga Kabupaten Donggala dan Sigi yang ditemukan oleh sukarelawan itu yang berbatasan dengan Kota Palu,” lanjutnya.
Kebutuhan alat berat juga akan dibantu oleh Palang Merah Indonesia (PMI). PMI mengirimkan alat berat kendaraan multimedan amfibi Hagglunds dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Alat berat beserta sejumlah armada tambahan yang terdiri dari tujuh mobil tangki air dan truk akan tiba di Pelabuhan Pantoloan, Palu, pada Jumat (5/10/2018).
Lambat laun terpenuhi
Selain sejumlah akses jalan darat yang masih terputus, kendala yang menghambat kerja personel di lapangan adalah listrik yang belum menyala, akses telekomunikasi yang masih terbatas, dan jumlah personel yang belum memadai.
Akan tetapi, lambat laun, kata Sutopo, kebutuhan-kebutuhan ini akan terpenuhi.
Dua dari tujuh gardu induk telah beroperasi, yakni Gardu Induk (GI) Poso dan GI Pamona. Dua GI lain, GI Silae dan GI Pasangkayu, telah dicek dan dinilai dapat beroperasi dan kini masih menunggu kesiapan jaringan listrik. Sementara itu, tiga gardu induk lain (Sidera, Talise, dan Parigi) sedang dalam proses pemulihan.
Bersamaan dengan proses perbaikan yang dilakukan oleh 371 teknisi PLN, 30 dari 162 generator set (genset) telah terkirim dan beroperasi. Sisanya dalam proses pengiriman.
Jaringan telekomunikasi kini juga sudah hampir beroperasi di separuh wilayah Sulawesi Tenggara. Tiga operator seluler, yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL, telah beroperasi di 49 persen wilayah Sulawesi Tengah.
Jaringan 2G Telkomsel telah beroperasi di wilayah Palu (19 persen), Donggala (25 persen), Luwuk (96 persen), Poso (89 persen), dan Tolitoli (74 persen). Adapun untuk jaringan 3G dan 4G, Telkomsel telah beroperasi untuk wilayah Palu (15 persen), Donggala (13 persen), Luwuk (65 persen), Poso (93 persen), dan Tolitoli (55 persen).
Berdasarkan data BNPB, saat ini jumlah pengungsi telah mencapai angka 61.867 jiwa yang tersebar pada 109 lokasi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi. Konsentrasi pengungsi terbanyak berada di Desa Janoge, Kecamatan Sigi, dengan jumlah pengungsi mencapai 10.068 jiwa.
Sutopo mengatakan, barang yang dibutuhkan para pengungsi antara lain tenda, selimut, matras, serta makanan dan minuman. Ia menambahkan, para pengungsi juga membutuhkan pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan fasilitas mandi-cuci-kakus.
Secara khusus, pengungsi juga membutuhkan fasilitas dan tenaga pemulihan trauma. ”Para pengungsi membutuhkan trauma healing agar stresnya berkurang, tetap optimistis dan semangat,” katanya.