Dipandang Rendah, Orang Rimba Rentan Alami Penyiksaan
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Dalam dunia yang kian modern, komunitas adat Orang Rimba di Jambi semakin terlupakan. Jangankan mendapatkan pengakuan hak adat, keberadaan mereka dipandang sebelah mata. Lebih parahnya, Orang Rimba kerap jadi korban penyiksaan.
Beconteng (23), Orang Rimba dari anggota kelompok Tumenggung Meladang, terbaring lemah di pondok beratap plastik alias sesudongon yang berdiri di antara tanaman karet wilayah Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Wajahnya memar. Tampak darah menggumpal di sekitar hidungnya. Batuknya pun mengeluarkan darah.
Beconteng pun lirih menceritakan penyebab luka itu, Selasa (2/10/2018). Saat itu, kata Beconteng, dirinya tengah melewati kebun sawit sebuah perusahaan bersama dengan tiga rekannya, Serah, Mbuda\' dan Besilo. Mereka berboncengan dengan dua motor melintasi jalur itu untuk berburu babi. Di punggung mereka terpasang kecepek, senapan tradisional Orang Rimba.
Ketika melewati pos poros kebun perusahaan, Beconteng menghentikan motornya sejenak karena ingin buang air kecil. Ia lalu menyelinap di balik pohon sawit. Setelah selesai, ia pun kembali ke motor, namun tak disangka sejumlah petugas keamanan perusahaan itu mendekat.
Salah satu petugas berteriak menuduh Beconteng mengambil buah sawit. Terang saja ia mengelak. Ia mengaku tidak tahu, namun petugas terus mendesak sampai-sampai sepatu lars si petugas menghantam perutnya. Beconteng jatuh terjungkal. Dalam posisi terduduk, petugas menghantamkan kecepek berulang kali ke wajah dan kepala sampai akhirnya ia pingsan.
Melihat penyiksaan itu, teman-temannya lari ketakutan. Sang petugas yang menghajarnya pun segera melarikan diri dengan membawa kecepek Beconteng.
Ketiga temannya baru berani kembali setelah petugas pergi. Mereka membawanya ke Puskesmas Pematang Kabau di Kabupaten Sarolangun.
Setelah mendapatkan pengobatan, Beconteng diantar ke rumah Jenang Jalal (perantara Orang Rimba dan orang luar) untuk meminta perlindungan. Atas bantuan jenangnya, tak lama datang petugas lain dari perusahaan itu, malam-malam. Ia pun dibawa kembali ke RSUD Sarolangun untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut. Namun, seluruh peristiwa itu telah melukai komunitas itu.
Bpak Nakan, mertua Beconteng, menyebut dalam adat Orang Rimba, setiap perbuatan yang menyebabkan lukanya orang lain akan terkena denda pampai, yang artinya harus di bayarkan untuk mengobati luka dan pemulihan harga diri orang yang sudah dicederai.
Antropolog Orang Rimba dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang, mengatakan meski beragam kampanye berupaya mendorong terwujudnya pengakuan akan hak masyarakat adat, nyatanya Orang Rimba mengalami kondisi kritis akan eksistensi diri.
Ketidakmampuan mereka mempertahankan diri menjadi ancaman terjadinya kepunahan. Karena itu ia mendorong perubahan paradigma di masyarakat. Perlakuan merendahkan Orang Rimba harus dihentikan.
“Jadikan mereka bagian dari warga negara. Mereka punya hak yang sama untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang,” katanya.
Ia mencatat berulangnya persoalan Orang Rimba tidak menyentuh ke akar masalah. Setiap terjadi masalah hanya diselesaikan pragmatis. Tidak ada upaya menyelesaikan masalah dari akar. “Tetapi masalah sesungguhnya yaitu pengakuan hak-hak orang rimba dan pengakuan akan harkat dan martabat orang rimba sebagai warga negara sama sekali tidak pernah dipenuhi,”ujarnya.
Begitu pula pengakuan akan hak dan ruang hidup menjadi hal yang krusial segera dipenuhi. Sebab, dengan itulah mereka dapat memastikan keberlangsungan hidup tetap terjaga.