JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah pihak menyayangkan langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang hanya dalam waktu dua bulan merevisi Peraturan Menteri terkait daftar perlindungan tumbuhan dan satwa liar, termasuk jenis burung. Peraturan itu mengeluarkan tiga burung kicau serta dua burung anis bentet dari daftar dilindungi.
Revisi melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 92 tahun 2018 yang terbit 30 Agustus 2018 itu dinilai terbit tanpa didasarkan rekomendasi otoritas keilmuan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Untuk itu, penggiat konservasi berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung terkait Permenlhk itu. “Ada wacana di jaringan untuk melakukan judicial review karena kami melihat Permenlhk Nomor 92/2018 itu prematur, tidak matang, tanpa kajian ilmiah, dan tidak ada pertimbangan dari LIPI,” kata Rosek Nursahid, Pendiri Profauna Indonesia, Sabtu (29/9/2018) dihubungi dari Jakarta.
Kami melihat Permenlhk Nomor 92/2018 itu prematur, tidak matang, tanpa kajian ilmiah, dan tidak ada pertimbangan dari LIPI.
Beberapa waktu lalu, Profauna Indonesia bersama 149 organisasi/lembaga serta 44 pribadi yang bergabung dalam Forum Konservasi Burung Indonesia mengeluarkan surat pernyataan bersama terkait Permenlhk 92/2018. Mereka prihatin atas penerbitan Permen LHK 92/2018 yang merevisi Permenlhk 20/2018.
Permenlhk 20/2018 disambut baik karena memperbarui daftar sejumlah tumbuhan dan satwa liar dilindungi yang telah berusia hampir 20 tahun. Daftar itu selama ini ada dalam lampiran PP 7 tahun 1999.
Permenlhk 20/2018 yang ditandatangani Menteri LHK Siti Nurbaya pada 29 Juni 2018, memasukkan burung kicau cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), murai batu/kucica hutan (Kittacincla malabarica), dan jalak suren (Gracupica jalla) sebagai satwa dilindungi.
Hal itu didasarkan pada rekomendasi LIPI yang pada kurun waktu 2001-2014 tak menemukan cucak rawa dan jalak suren ini di sejumlah lokasi risetnya. Burung murai batu, khususnya subjenis yang ada di Jawa, terjadi penurunan dan kehilangan populasi.
Namun kehadiran Permenlhk 20/2018 memicu penolakan dari penggemar, penangkar, dan pedagang burung kicau beserta pebisnis ikutannya. Mereka khawatir status dilindungi menyusahkan kehidupan mereka.
Justifikasi perlindungan
Hal itu ditanggapi KLHK dengan membuka wacana untuk merevisi Permenlhk 20/2018. Melihat kondisi ini, pada 5 September 2018, LIPI melalui Pusat Penelitian Biologi mengirim surat kepada Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati untuk melengkapi justifikasi perlindungan terhadap burung-burung kicau itu. Dalam suratnya, Puslit Biologi LIPI melampirkan peta sebaran dan daftar pustaka sebagai penguat argumen perlindungan.
Ternyata pada 30 Agustus 2018 atau dua bulan setelah penerbitan Permenlhk 20/2018, Menteri Siti Nurbaya menandatangani Permenlhk 92/2018 yang merevisi Permeenlhk 20/2018.
“Sangat disayangkan kalau KLHK sebagai otoritas manajemen terpaksa melakukan revisi karena tekanan sebagian kecil masyarakat, khususnya pengusaha, pedagang, dan penghobi. Data ilmiah dan pertimbangan ilmiah perlu diutamakan dibandingkan pertimbangan kebutuhan yang tak darurat,” kata Kepala Puslit Biologi LIPI Witjaksana dalam jawaban tertulis.
Selain mengeluarkan ketiga burung kicau, Permenlhk 92/2018 mengeluarkan anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha) dan anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis). Hal ini mengherankan Rosek karena kedua burung ini tidak masuk sebagai burung berkicau.
“Sepertinya KLHK salah pemahaman karena anis banyak jenisnya. Yang dilombakan itu anis jenis yang lain, bukan anis-bentet kecil dan anis-bentet sangihe,”kata dia.
Rosek mengatakan pihaknya bersama jaringan mempertimbangkan untuk melakukan uji materi karena penerbitan Permenlhk 92 melanggar ketentuan Pasal 6 PP No.7 Tahun 1999 yang menyatakan perlu pertimbangan LIPI. Dalam siaran pers resmi berisi informasi dikeluarkannya ketiga burung berkicau—tak menyinggung dua jenis lagi dikeluarkan dari daftar—KLHK mengambil pertimbangan sosial, ekonomi, dan kesuksesan pembudidaya sebagai dalih.
Sebagai informasi, aturan main dalam PP No 7/1999, penetapan TSL dilindungi hanya mematok kriteria perlindungan didasarkan pada populasi kecil, populasi menurun tajam, dan daerah penyebaran terbatas. Bukan dengan menambahkan banyaknya penangkaran, penghobi, dan lomba/kontes pada perlindungan burung seperti tertulis dalam Permen LHK Nomor 92/2018.
Rosek mengatakan pihaknya masih menunggu respons KLHK sebelum mengajukan uji materi. “Kami mencoba audiensi dengan Menteri LHK untuk meminta penjelasan langsung kenapa Permenlhk 92/2018 keluar. Baru kami pertimbangkan terkait JR,” kata dia.