JAKARTA, KOMPAS – Sistem tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement diterapkan dalam masa uji coba mulai Senin (1/10/2018) hingga satu bulan ke depan. Pelanggaran yang dilakukan para pengendara kendaraan bermotor akan terekam kamera pengintai. Namun, surat bukti penilangan akan dikirim melalui pos.
Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya, Komisaris Besar Yusuf, mengatakan, kamera pengintai (CCTV) yang telah disediakan di Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin telah diuji coba untuk merekam pelanggaran lalu lintas sejak 24 September 2018. CCTV tersebut dapat berfungsi dengan baik dan akan digunakan untuk merekam dua jenis pelanggaran, yakni penerobosan lampu merah serta pelanggaran markah.
Sensor di dalam CCTV telah terkalibrasi dengan garis berhenti (stop line) dan akan aktif saat lampu merah pada alat pemberi isyarat lalu lintas (apill) menyala. Kendaraan yang melewati stop line saat lampu merah menyala akan mengaktifkan sensor, kemudian CCTV akan merekam pelanggaran tersebut. Panjang rekaman adalah 10 detik, yakni sebelum, saat, dan setelah pelanggaran terjadi.
“Kamera hanya meng-capture gambar saat pelanggaran terjadi. Gambar dan video yang direkam akan masuk ke Traffic Management Control Polda Metro Jaya, kemudian petugaslah yang menganalisis apakah rekaman tersebut termasuk pelanggaran atau tidak. Merekalah yang bisa menentukan pasal-pasal yang dilanggar,” kata Yusuf.
CCTV dapat mendeteksi nomor polisi kendaraan yang melanggar, meskipun kendaraan bergerak dalam kecepatan 300 km/jam. Dari nomor polisi kendaraan pelanggar, Ditlantas Polda Metro Jaya akan memperoleh data pemilik kendaraan yang tercatat dalam database identitas kendaraan bermotor, sebagaimana tertera dalam surat tanda nomor kendaraan (STNK).
Ditlantas Polda Metro Jaya akan mengirimkan surat konfirmasi pelanggaran ke alamat pemilik kendaraan yang tercatat dalam database. Pengiriman lewat pos diestimasikan memakan waktu tiga hari. Setelah diterima, pemilik kendaraan dapat memverifikasi pelanggaran yang dilakukannya melalui situs www.etle-pmj.info.
“Melalui situs tersebut, pemilik kendaraan bermotor dapat mengonfirmasi apakah dia yang mengendarai kendaraan tersebut, atau mungkin kerabatnya. Lewat situs itu, dapat dikonfirmasi juga apakah kendaraan yang melanggar tersebut sudah dijual atau hilang,” lanjut Yusuf.
Adapun waktu yang diberikan bagi pemilik kendaraan untuk mengonfirmasi adalah tujuh hari. Setelah pelanggaran dikonfirmasi, surat tilang akan dikirimkan dan dapat dibayarkan paling lambat tujuh hari setelah surat tilang diterima. Jika tidak ada konfirmasi atau pembayaran, STNK kendaraan akan diblokir.
Terkait dengan pengiriman surat konfirmasi melalui pos, Yusuf berharap, ke depan konfirmasi dapat dikirim melalui surat elektronik atau pesan singkat (SMS). Namun, saat ini, database kendaraan bermotor belum dilengkapi nomor ponsel maupun alamat surel.
“Saya mengimbau para pemilik kendaraan bermotor untuk mencantumkan nomor HP dan alamat email saat mendaftarkan kendaraannya di Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap). Saya juga sudah imbau kantor-kantor Samsat di Jakarta untuk menyediakan kolom nomor HP dan email di formulir pendaftaran,” kata Yusuf.
Namun, petugas registrasi di Samsat Jakarta Selatan, Bripka Didik S. mengatakan, pihaknya belum menerima instruksi tersebut. “E-TLE kan baru Kan E-TLE baru berlaku hari ini, jadi belum ada formulir baru. Kita masih nunggu imbauan dari pimpinan (Dirlantas),” kata dia.
Sementara itu, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo berpendapat, pengiriman surat konfirmasi dalam bentuk dokumen fisik yang dikirimkan lewat pos, kurang efektif. Ia menyarankan, pengiriman itu dilakukan melalui surel.
“Kalau lewat pos, kan, menambah pekerjaan untuk pemerintah. Harusnya bisa lewat SMS atau email. Jangan sampai pemilik kendaraan tidak tahu kalau STNK-nya sudah diblokir, sedangkan dia terus mengendarai kendaraannya,” kata dia.
Di samping itu, Sudaryatmo juga mengingatkan kepolisian untuk bersikap imparsial dalam melakukan analisis dan verifikasi video-video pelanggaran. Salah satu caranya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
“Proses analisis dan verifikasi yang tertutup ini dapat diimbangi dengan menyediakan platform pelaporan pelanggaran dari masyarakat. Masyarakat yang menemukan pelanggaran bisa merekam, mengirimnya ke platform tersebut, dan berhak mengetahui perkembangan laporannya. Polisi juga harus melindungi identitas pelapor,” papar dia. (KRISTI DWI UTAMI/KRISTIAN OKA PRASETYADI)