Rel Layang di Kota Metropolitan
Gagasan pembangunan rel layang Manggarai-Kota sejak 1980-an merupakan solusi menyiapkan angkutan umum untuk kota metropolitan. Selain mengoptimalkan kereta, rel tidak sebidang dengan jalan raya ini mengurangi potensi kecelakaan lalu lintas.
Gagasan pembangunan rel layang Manggarai-Kota sejak 1980-an merupakan solusi menyiapkan angkutan umum untuk kota metropolitan. Selain mengoptimalkan kereta, rel tidak sebidang dengan jalan raya ini mengurangi potensi kecelakaan lalu lintas.
Proses pembangunan rel layang Manggarai-Kota ini tidak mulus. Gagasan rel sepanjang 9 kilometer sudah muncul sejak tahun 1982. Bahkan, pembangunannya sempat direncanakan mulai tahun itu.
Dalam catatan Kompas tahun 1982, pembangunan rel layang didesakkan lantaran ada kebutuhan untuk memudahkan mobilitas warga dengan kereta api.
Saat itu, jalur Manggarai-Kota baru tersedia baru satu rel. Kereta yang lewat pun harus bergantian.
Apa daya, rencana itu belum terwujud tahun itu, bahkan tertunda bertahun-tahun.
Baru 17 Desember 1986, pembangunan rel layang ini dimulai dengan pemancangan tiang fondasi di segmen B yakni antara Gondangdia sampai Juanda.
Pembangunan jalur layang direncanakan berupa rel ganda untuk mengakomodasi perjalanan kereta dari dua arah. Elektrifikasi juga disiapkan sepanjang jalur ini untuk memungkinkan kereta rel listrik (KRL) melintas. Tujuh stasiun yakni Cikini, Gondangdia, Gambir, Juanda, Sawahbesar, Manggabesar, dan Jayakarta juga dibuat dua lantai, menyesuaikan pembangunan rel layang ini.
Proses pembangunan keseluruhan jalan layang pertama untuk kereta api ini memakan waktu 5,5 tahun. Tepat tanggal 5 Juni 1992, Presiden Soeharto meresmikan penggunaan infrastruktur yang dibangun dengan biaya Rp 432 miliar ini.
Semula, direncanakan jalur rel layang ini digunakan untuk mengoptimalkan kereta KRL komuter. Adapun kereta jarak jauh diusulkan berhenti di stasiun lain seperti Stasiun Manggarai, Jatinegara, atau Pasar Senen.
Menjelang rel layang beroperasi, Stasiun Gambir diputuskan tetap dijadikan stasiun akhir perjalanan KA jarak jauh. Sejak tahun 2012, KRL bahkan tidak lagi menaik-turunkan penumpang. Stasiun ini hanya menjadi perhentian kereta-kereta jarak jauh.
Tahun 2018, jalur layang ini juga tengah dioptimalkan pemerintah pusat dengan pembangunan jalur dwiganda, tepatnya di ruas Manggarai-Gambir.
Adapun PT Kereta Api Indonesia kini tengah menambah wesel atau alat pemindah jalur kereta di rel layang. Dengan begitu, manakala ada gangguan perjalanan di rel layang, kereta bisa berpindah jalur di rel layang. Saat ini, wesel hanya ada di Stasiun Gambir dan Stasiun Kota.
23 pelintasan sebidang
Titin (42), warga yang sejak lahir tinggal di daerah Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, mengatakan, ada perubahan besar setelah pembangunan rel layang.
"Dulu, saat relnya masih di bawah, sering ada kecelakaan," katanya, Kamis (27/9/2018) saat ditemui di bawah rel layang tak jauh dari Stasiun Gondangdia.
Titin kecil sering merasa takut jika harus menyeberang rel. Ia mengaku trauma karena pernah melihat langsung peristiwa tabrakan di pintu perlintasan kereta. "Kalau tidak terpaksa, saya memilih untuk tidak mau menyebrang rel, takut kesamber kereta," tambahnya.
Pembangunan rel layang di rute ini memang menghapus 23 pelintasan sebidang.
Siti Arifah (38), tetangga Titin, menambahkan, sejak rel dipisahkan dari jalan, kondisi lalu lintas di daerah itu lebih baik meskipun masih terlihat kemacetan pada jam-jam tertentu.
"Masih mendinglah kalau sekarang. Kalau misal jalur kereta masih di bawah, wah, udah nggak tahu lagi deh gimana macetnya," ujar Siti.
Sore hari saat jam pulang kantor, Jalan Kebon Sirih selalu padat. Jalan ini menjadi pertemuan arus kendaraan dari arah Jalan Kebon Sirih dan Jalan Srikaya, Menteng, Jakarta Pusat. Bunyi klakson saling bersahut seiring dengan banyaknya pemotor yang menyelip di kanan dan kiri mobil.
Kecepatan rata-rata kendaraan di daerah itu saat jam sibuk kini tak sampai 10 km per jam. Keadaan bakal lebih parah bila rel kereta juga masih berada satu bidang dengan jalan raya.
Apalagi, perjalanan kereta api terus ditambah untuk mengakomodasi perjalanan warga.
Sebelum ada rel layang ini, jadwal kereta rel listrik (KRL) sekitar 20 menit sekali. Keberadaan rel layang ditargetkan merapatkan perjalanan KRL hingga 3 menit sekali.
Terbukti, kini perjalanan KRL di rute ini lebih efektif. "KRL di rel layang sekitar 3-7 menit sekali," kata VP Komunikasi PT KAI Commuter Indonesia Eva Chairunisa.
KRL yang menggunakan jalur ini adalah KRL rute Bogor-Jakarta Kota dan Bekasi-Jakarta Kota.
Kepala Humas PT KAI Agus Komarudin mengatakan, saat ini total 413 kereta api yang melintasi rel layang ini saban hari. "Rata-rata, kenaikan perjalanan kereta api ini 2 persen per tahun," katanya.
Lahan kosong
Semenjak rel dipindah ke atas, jalur kereta yang dulu dilalui menjadi lahan kosong.
Kata Siti dan Titin, kolong rel layang sempat dijadikan tempat parkir dan tempat menyimpan hasil pulungan para pemulung.
Kini, tempat itu telah disulap oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadi Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) Kebon Sirih. Kamis siang, sejumlah anak usia 5-12 tahun asyik bermain di RPTRA Kebon Sirih. Ada yang bermain perosotan, main karet, atau bekejaran di lapangan futsal.
Pada sekitar RPTRA masih ada pepohonan yang tinggi. Meskipun matahari bersinar terik, suasana di tempat itu terasa sejuk karena angin semilir terus berembus.
Siti dan Titin setiap hari selalu pergi ke RPTRA untuk menunggui anak dan cucu bermain. Menurut mereka, RPTRA mengubah kesan angker di sana. "Sekarang jadi bagus, banyak wahana permainnya, jadi anak-anak tertarik untuk main ke sini. Dulu mah angker sini, nggak ada yang mau ke sini," ucap Titin.
Optimalkan jalur
Selain jalur tengah yakni Manggarai-Kota, jalur lain sebenarnya mendesak juga dibuat tidak sebidang.
Wacana untuk membuat jalur layang di tempat lain sempat timbul-tenggelam. Tahun 2013, rel layang di jalur lingkar direncanakan dibangun tahun 2014. Namun, hingga kini, rencana itu masih berupa wacana.
Memang, seperti pengalaman membangun jalur rel layang Manggarai-Kota, biaya untuk membangun rel layang bisa mencapai 4-5 kali dibandingkan membangun infrastruktur rel di atas tanah.
Anggaran untuk membangun rel di bawah tanah--seperti yang dilakukan PT MRT Jakarta--justru lebih tinggi lagi yakni bisa 10 kali lipat dibandingkan membangun rel di atas tanah. Namun, dengan rel di bawah tanah, peningkatan infrastruktur kelak semisal menambah jalur rel atau meluaskan stasiun, bisa lebih mudah lagi dilakukan.
Tahun 1990, menjelang rel layang Manggarai-Kota difungsikan, jumlah perjalanan di wilayah Jakarta 6,75 juta perjalanan per hari. Dari jumlah itu, berdasarkan studi tahun 1987, peran kereta api baru 0,31 persen (Kompas, 17 September 1993).
Berselang 25 tahun kemudian, yakni tahun 2015, jumlah perjalanan di Jakarta versi Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek sudah 2,8 kali lipat atau 19 juta perjalanan per hari.
Mengingat perkembangan Jakarta ini, ada baiknya rencana untuk mengurangi pelintasan sebidang ini dipertimbangkan lagi. Selain bisa mengoptimalkan kereta api sebagai angkutan umum, kita juga bisa mengurangi kecelakaan lalu lintas di pelintasan sebidang.
Pola pemanfaatan ruang secara maksimal lewat lewat konsep pembagian nilai lahan (land value sharing atau land value capture/LVC) bisa dipertimbangkan untuk mendapatkan dana demi transportasi massal di kota metropolitan. (Kristi Dwi Utami)