Ketidaksesuaian kompetensi dan kebutuhan industri membuat lulusan SMK sulit diserap industri. Perlu sinergi lintas sektor sebagai solusi.
JAKARTA, KOMPAS — Revitalisasi sekolah menengah kejuruan yang digalakkan pemerintah belum memberi hasil signifikan. Keterampilan lulusan pendidikan vokasi masih belum sesuai dengan kompetensi dan praktik yang dijalankan di dunia kerja.
General Manager Corporate Communication PT Astra Honda Motor (AHM) Ahmad Muhibbuddin di Jakarta, Jumat (28/9/2018) menilai masih ada kesenjangan antara kemampuan lulusan SMK dengan kebutuhan industri, terutama terkait penggunaan teknologi baru.
“Sebagai contoh, industri kendaraan roda dua saat ini sudah memakai teknologi injeksi, tapi yang diajarkan di sekolah masih pakai karburator,” katanya.
Kondisi serupa dialami industri manufaktur kayu olahan. Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha Jawa Timur Nurcahyudi mengatakan pelaku usaha kayu olahan memilih pekerja lulusan SMA ketimbang SMK karena lebih mudah didapat dan jumlahnya lebih banyak.
"Industri tetap menyerap lulusan SMA meski harus dilatih dulu di tempat kerja," katanya.
Lulusan SMK diserap dalam jumlah kecil untuk unit tertentu yang butuh keterampilan khusus, seperti mekanik, elektrik dan teknologi informasi.
Belum sesuainya kompetensi lulusan SMK dengan kebutuhan industri juga diungkapkan oleh CEO Bukalapak Achmad Zaky. Bukalapak tidak banyak menerima lulusan pendidikan vokasi. “Untuk bidang design ada, tapi untuk engineering (rekayasa) hampir tak ada,” ucapnya.
Untuk menjembatani masalah itu, lanjut Ahmad, PT AHM menjalin kerjasama dengan sejumlah SMK dengan memasukkan kurikulum teknik sepeda motor yang diajarkan sesuai dengan penerapan di industri. Program itu sudah berjalan sejak 2010 dan berlangsung di 667 SMK mitra binaan di 31 provinsi. Hasilnya, 96 persen operator baru AHM dipasok dari SMK mitra binaan.
Sementara di Jawa Timur, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jatim Setiajit berharap perusahaan mendirikan pusat pelatihan bagi calon pekerja lulusan SMK. Pusat pelatihan dibutuhkan untuk mengurangi ketidaksesuaian antara kebutuhan tenaga kerja dengan kompetensi pencari kerja. Cara itu diharap bisa menekan pengangguran SMK.
"Ada 191 SMK negeri dari sekitar 2.000 SMK di Jatim," katanya. Sementara SMK berakreditasi A hanya 196 sekolah.
Jika jumlah SMK cukup besar, pendidikan tinggi vokasi berbentuk politeknik masih kurang. Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono menilai kurangnya politeknik bisa ditambah dengan menggandeng perusahaan multinasional di Indonesia.
"Jika tiap perusahaan menyediakan politeknik, itu langkah positif guna menunjang peningkatan kualitas SDM,” kata Agus. Investasi pembangunan politeknik itu juga akan menguntungkan perusahaan.
Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Patdono Suwignjo mengatakan pengajuan izin perguruan tinggi vokasi naik dari 3-4 lembaga jadi 8 lembaga per tahun. “Peningkatan pendidikan vokasi harus terus dipacu karena Indonesia sangat tertinggal,” ujarnya. (SYA/ETA/NCA/ELN/WHO)