Ressy Chandra Puspita (39) memperlihatkan beberapa produk yang dia jual secara daring, Rabu (29/8/2018). Sebagian produk itu dipajang di tokonya di Sleman, Yogyakarta.
Ressy Chandra Puspita (39), seorang ibu rumah tangga, pernah hampir menjatuhkan anaknya dari gendongan. Pengalaman buruk itu memicunya untuk membuat gendongan yang aman. Hasil utak-atiknya berkembang sebagai industri rumahan yang membawa berkah bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Rabu (29/8/2018) sore yang hangat. Sebuah rumah bersahaja di pinggir sungai di dekat gerombolan bambu itu penuh kesibukan. Sejumlah perempuan tengah menjahit, beberapa lagi memotong kain, beberapa lelaki menggunting busa menjadi potongan-potongan kecil. Suara mesin jahit, potongan busa, dan obrolan belasan pekerja berbaur membentuk irama yang asyik.
“Mereka andalan kami untuk memproduksi berbagai macam gendongan. Semua dari kampung sini, bekerja dari pagi sampai sore,” kata Ressy menjelaskan kegiatan di rumah itu. Kami berkunjung didampingi Public Relation Executive Bukalapak, Miftachur Rochman.
Rumah sewaan di Dusun Sudisari, Desa Adikarto, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu menjadi markas industri dengan merek Zatra yang dikelola Ressy. Bersama penjahit senior, Oman Sahroni (43), perempuan itu memberdayakan belasan orang untuk memproduksi berbagai jenis sabuk bonceng dan gedongan. “Para pekerja ini dilatih dari nol sampai bisa menjahit, memotong, atau membuang benang dengan tepat,” kata Oman.
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Ressy Chandra Puspita (39) sedang mengarahkan penjahit yang membuat sabuk bonceng di Dusun Sudisari, Desa Adikarto, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (29/8/2018)
Ressy dan Oman bekerja sama sejak tahun 2012. Ressy membuat desain gendongan, sementara Oman bersama timnya menjahit dan memotong bahan untuk mewujudkan rancangan itu. Produknya beragam. Ada sabuk bonceng anak yang dikenakan orang tua sambil mengendarai motor. Ada gendongan sekaligus untuk melatih bayi belajar jalan, gendongan dengan gelang penguat, juga gendongan panjang yang dibebatkan ke tubuh. Semua itu dibuat variasi warna, ukuran, bentuk, model, dan motif.
Setelah kelar produksi di Muntilan, berbagai jenis gendongan itu dikirim ke toko Ressy, Babyshopline, di Condong Catur, Depok Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Toko itu sekaligus menjadi etalase bagi pembeli yang ingin berkunjung dan melihat langsung. Dari situ, produk dijual ke konsumen.
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Sabuk bonceng produksi Ressy Chandra Puspita.
Mayoritas penjualan melalui online (dalam jaringan), terutama di situs bukalapak.com. Harganya berkisar Rp 120.000-210.000. “Penjualan lewat online jauh lebih banyak daripada pembeli datang langsung ke sini,” kata Ressy.
Dalam sebulan, dia melayani 800-1.000 pesanan. Saat musim masuk sekolah, seperti Mei, Juni, atau Juli, jumlah pesanan meningkat sampai 2.000 per bulan, mayoritas dari distributor atau reseller. Mereka menjual lagi ke konsumen.
Khusus untuk jaringan penjualan ini, Ressy memberikan diskon lebih besar. Namun, ada juga pesanan langsung dari konsumen. Harga di tingkat konsumen dijaga agar tetap sama. Pembeli berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti dari Jakarta, dari kota-kota di Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi, Kalimantan.
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Gendongan produksi Ressy Chandra Puspita.
Tak sengaja
Bisa dibilang, Ressy membangun usaha gendongan secara tidak sengaja. Beberapa tahun silam, dia tinggal di Lampung untuk mengikuti suaminya, Hermawan Adi Nugroho (46), yang bekerja di bank. Suatu ketika, dia mengendarai motor sambil menggendong anaknya yang masih kecil, Mufarrij Raif Hadisaputra. Karena gendongan kurang bagus, tiba-tiba anak itu merosot, nyaris terjatuh dari motor.
“Saya pun mulai terpikir, mungkinkah mengendarai motor sambil membawa anak secara aman?” katanya.
Pertanyaan itu kian mengusik saat dia pindah ke Yogyakarta. Tahun 2010, anak keduanya lahir, Zhafira Farannisa Maheswari. Tiap pagi, dia rutin mengantar anak pertamanya, Hadisaputra (saat itu usia 6 tahun) ke sekolah dengan naik motor sambil membawa anak keduanya itu (saat berusia 6 bulan). Untuk membawa si kecil, Ressy mengandalkan gendongan kantong kanguru yang dibelinya secara online.
Bersamaan pertumbuhannya, bayi kian sulit dibawa dengan gendongan. Ressy mencoba memodifikasi gendongan menjadi semacam sabuk bonceng yang lebih praktis dan aman. Dia rancang penyangga pantat anak, penahan kepala anak saat tertidur, penahan terpaan angin saat motor melaju, juga pengikat-pengunci dengan ukuran fleksibel.
Bahan diolah dari kain, busa, dan klik pengunci. Rancangan itu kemudian dikerjakan seorang penjahit kenalan kakaknya, Oman Sahroni, di Muntilan, Magelang. Jadilah satu produk gendongan rintisan. Itu tahun 2012.
Ternyata, sabuk bonceng itu diminati teman-temannya. Ressy tergerak memproduksi lagi dan mencoba menjualnya lewat akun media sosialnya di Facebook. Respons pasar cukup baik. Tahun 2013, dia serius berjualan secara online, termasuk dengan membuat blog di website, babyshopline.com. Desain sabuk bonceng terus diperbaiki seiring masukan dari para pembeli.
“Desain terus disempurnakan. Sekarang, dilengkapi topi. Biar tidak mudah merosot, cengkrangan gendongan lebih kuat. Ukuran bervariasi sesuai umur dan berat anak,” katanya. Semua produk Ressy diberi label Zatra, gabungan dua nama anaknya: Zafira dan Saputra.
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Sabuk bonceng dan titah produksi Ressy Chandra Puspita.
Ketika bergabung di situs Bukalapak.com tahun 2015, pesanan tambah melonjak. Ini menggembirakan sekaligus bikin Ressy dan para pekerjanya kalang kabut. Untuk memenuhi order, mereka bekerja lebih keras, bahkan sampai lembur. “Kami seperti dioyak-oyak (dikejar-kejar),” katanya.
Situasi kerap menekan saat bahan untuk membuat gendongan sesuai pesanan ternyata habis, sementara pesanan berdatangan. Ressy pontang-panting demi menemukan materaial yang dibutuhkan. Kadang, keadaan bisa lebih runyam. “Pernah pada hari terakhir pengiriman, tiba-tiba listrik mati siang hari. Maka, ketika listrik menyala lagi sore hari, kami pun lembur,” katanya.
Ressy kenyang dengan komentar pembeli yang menulis secara terbuka di lapak online. Kadang, ada yang main semprot begitu saat merasa tidak puas. Bagi perempuan ramah ini, umpan balik negatif adalah bagian dari proses belajar dan memperbaiki diri.
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Ressy Chandra Puspita (39)
Pemberdayaan
Tak hanya untuk diri sendiri, lewat usahanya, Ressy turut memberdayakan masyarakat. Selain belasan orang yang menangani produksi di Muntilan, dia juga mempekerjakan beberapa karyawan untuk mengurusi pesanan di toko. Ada juga 15 distributor dan sejumlah reseller di banyak kota yang bekerja sama menjajakan produk Zatra. Mereka semua adalah mitra kerja.
Di luar itu, Ressy tekun membagi ilmunya kepada sesama pelaku usaha kecil. Lewat Komunitas Bukalapak, dia bertukar pengalaman dan saling menyemangati dengan sesama pelapak yang berjualan secara daring. Kepada masyarakat yang berminat belajar, perempuan itu juga terbuka. “Saya buka kelas di rumah, tiap Jumat dari pagi,” katanya.
Ressy kerap diundang untuk mengisi pelatihan UKM yang digelar pemerintah daerah. Salah satu pelatihan melibatkan komunitas difabel yang diajari untuk berjualan secara online.
“Saya ingin sedekah ilmu untuk banyak orang,” kata Ressy bersemangat.